‘Bupati Pasuruan Dipilih DPRD, Transaksinya Bisa 500 Jutaan’

656

pilkada dprdPasuruan (wartabromo) – Disahkannya RUU Pilkada yang memuat klausul tentang Pilkada DPRD oleh DPR RI, Jumat (26/9/2014) lalu terus menuai kontroversi. Sejumlah politisi di daerah meyakini jika pelaksanaan Pilkada DPRD dipastikan tak bisa dilepaskan dari politik transaksional di level parlemen atau fraksi di DPRD.

Misbahul Munir, mantan Ketua Panitia Pemilihan Bupati Pasuruan pada Pilkada DPRD tahun 2003 silam mengakui, politik tawar menawar posisi Kepala Daerah di level parlemen pada masa Pilkada 2003 silam telah terjadi dan rata-rata nilai tawar menawar atau lobi antar fraksi berkisar antara Rp 50 juta sampai Rp 150 juta.

“Ini pengalaman. Rata-rata kalau di DPRD, permintaannya tinggi – tinggi terutama Fraksi atau parpol yang kecil-kecil. Dulu, bisa sampai 150 juta lebih,” terang mantan Ketua DPC PKB Kabupaten Pasuruan tersebut saat berbincang dengan wartabromo.com, Senin (29/9/2014).

Baca Juga :   Ada Ledakan di RSIA Muhammadiyah Probolinggo, Pasien Semburat

Menurutnya, Pilkada melalui DPRD atau Pilkada langsung sama-sama tak bisa terhindar dari praktek politik uang. Hal ini terjadi lantaran untuk menduduki suatu jabatan seperti kepala daerah tetap harus mengeluarkan biaya politik berapa pun besarannya.

“Kalau dulu sekitar 50 sampai 150 juta. Kalau sekarang ya bisa-bisa 500 jutaan untuk lobi-lobi fraksi,” tambah Misbahul Munir yang mengaku terlibat langsung dalam Pilkada DPRD di Kabupaten Pasuruan tahun 2003 silam yang memenangkan pasangan Jusbakir Al-Jufri – Muzammil Syafi’i tersebut. (Baca : Di Pasuruan, Bupati Dipilih DPRD Pasti Transaksional)

Diakuinya, Pilkada langsung yang sarat bagi-bagi duit memang telah meracuni masyarakat secara luas dari segi akhlak sehingga memunculkan sikap materialistis di tengah-tengah rakyat yang segalanya hanya diukur dengan uang.

Baca Juga :   Pengendara Legenda Tewas Tabrak Kijang di Pandaan

“Sisi positifnya kalau di DPRD dampak bagi-bagi duitnya memang tidak luas. Kalau memang terjadi kolusi dan korupsi, ya 50 orang itu (anggota dewan,red) yang memang akhlaknya bobrok. Tapi jika Pilkada langsung menjadi Pilkada DPRD ini merupakan sebuah kemunduran demokrasi kita,” tegasnya.

Terkait Pilkada tak langsung atau langsung. Misbah justru lebih memilih Pilkada langsung tetapi dengan syarat ada perbaikan  yang memungkinkan praktek money politic atau praktek bagi-bagi duit saat Pilkada bisa diminimalisir bahkan dihindari dengan cara penegakan hukum yang tegas bagi pelaku money politic serta ketatnya pengawasan.

“Jika Pilkada sama-sama harus mengeluarkan biaya, lebih baik pemilihan kepala daerah dipilih oleh rakyat,” pungkasnya. (yog/yog)