Celah Terbuka, Memeras Perkara Selalu Menggoda

1057

oknum jaksaPasuruan (wartabromo) – Adanya praktek pemerasan terhadap warga yang memiliki masalah dengan hukum oleh oknum aparat penegak hukum sudah menjadi rahasia umum, bukan hanya di Pasuruan tapi juga di daerah lain. Hanya saja praktek tersebut susah dibuktikan karena selain para korban tidak berani memberika kesaksian, juga tidak ada barang bukti semisal foto, rekaman suara maupun rekaman video. Terlebih praktek tersebut dilakukan secara hati-hati dan rapih sehingga nyaris tidak meninggalkan jejak.

“Kalau yang saya alami ada beberapa orang datang ke pada kita konsultasi.  Ada dugaan pemerasan tapi susah dibuktikan,” kata Aristoteles Situmeang, seorang advokat yang tergabung dalam Peradi yang juga anggota Lembaga Bantuan Hukum Badan Musyawarah Gereja (Bamag) Sidoarjo.

Aris berkisah tentang pengalamannya menangani kasus narkoba dimana kliennya tertangkap saat membeli narkoba. Kliennya tersebut tertangkap dengan barang bukti sabu-sabu seberat 0,5 gram.

Baca Juga :   Pipa Pertagas di Pasuruan Dihentikan, Ini Alasan Dewan

“Karena barang buktinya hanya 0,5 gram, ia dilepas karena dari tes urine tidak terbukti sebagai pemakai narkoba. Tapi ia menjadi ATM (korban pemerasan) oknum aparat. Kasihan, pengakuannya kepada saya dia memang bukan pemakai. Dia beli kepada temannya karena kasihan. Itu (pemerasan) kita rasakan tapi tidak bisa dibuktikan. Minimal ada rekaman atau foto baru bisa menjadi alat bukti, ” jelas Aris.

Aris mengatakan ada modus lain pemerasan yang dilakukan oknum aparat. Diantaranya adanya tawaran kepada tersangka tentang pemberian rehabilitasi jika membayar uang dengan jumlah tertentu.

“Hal-hal seperti itu juga sudah biasa. Namun kita sebagai advokat mengalami kesulitan dalam hal pembuktian. Kita kan tidak bisa berangkat dari dugaan, harus ada alat bukti,” terangnya.

Baca Juga :   Sepekan Diperbaiki, Tebing di Tiris Longsor Lagi

Ia juga sering menemukan oknum aparat yang menyalahgunakan kewenanganya dalam hal penahanan tersangka. Penyalahgunaan kewenangan subjektif ini biasanya terjadi pada kasus-kasus yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun. Di kasus ini penyidik memang punya wewenang untuk menahan atau tidak tersangka atas pertimbangan subjektif.

“Kewenangan subjektif ini sering disalahgunakan. Ada kasus yang hukumannya maksimal 4 tahun namun tersangka ditahan atas pertimbangan subjektif penyidik. Saat ajukan permohonan penangguhan penananan tak direspon karena tak embel-embel uang pelicin,” ujarnya.

Advokat yang beberapa kali menangani kasus di Pengadilan Negeri Bangil ini mengatakan hal itu juga pernah dialami kliennya yang terjerat perkara penggelapan yang ancaman hukumannya maksimal 4 tahun penjara.

“Perkaranya ditangani Polda, saat dilimpahkan Kejati, kami minta penangguhan penahanan karena klien saya sakit. Sama JPU kita diminta uang secara terang-terangan. Karena saya bukan tipikal seperti itu, akhirnya saya menolak dan klien saya tetap ditahan,” papar Aris.

Baca Juga :   Tuntut UMK, 20 Karyawan Bengkel Mogok Kerja

Ia pung geram dan melaporkannya ke Kepala Kejaksaan Tinggi dengan tembusan ke Komisi Jaksa.

“Tapi nggak ditanggapi. Kasihan klien saya itu benar-benar sudah tua, dia pendeta perempuan,” tuturnya.

Menurut Aris, penyidik yang baik adalah penyidik yang benar-benar memahami hak-hak tersangka, bahwa sebelum divonis hakim para tersangka ini harus dipandang sebagai orang yang tidak bersalah.

“Perkara judi misalnya, ini tidak wajib didampingi penasehat hukum. Tapi hak tersangka harus dilindungi. Asas praduga tak bersalah harus dikedepankan,” tandasnya.

Lebih jauh Aris menilai bahwa suburnya berbagai kecurangan aparat penegak hukum tersebut juga menjadi tanggungjawab para advokat. Menurut dia, banyak advokat yang secara langsung atau tidak langsung mendukungnya.