Filosofi Ketupat

1344
Konon, pemegang hak patent beberapa hidangan khas lebaran adalah Mbah Sunan Ampel. Secara ilmiah memang tak ada catatan dalam refrensi apapun. Satu-satunya sumber adalah metode petok tularhingga teori itu sampai kepada kita. Namun jika kita renungkan kecerdasan estetika kreasi kuliner semacam ketupat, apalagi jika direnungkan filosofinya, insya Allah memang pantas jika makanan-makanan khas lebaran tersebut tidak secara kebetulan saja di-utak-atik matuk oleh penemunya. Rawon Nguling mungkin ditemukan secara tak sengaja oleh kreator pertamanya. Mirip dengan salah satu kaisar dinasti Ming saat menemukan teh. Namun ketupat, lepet dan lontong, insya Allah dibuat berdasarkan pertimbangan psikologis, ilmu kedokteran, filsafat bahkan bisa-bisa teologi.
Kenapa demikian, karena dari segi nama dan karakteristik makanan-makanan tersebut memang mengandung “kecerdasan yang gaib”. Ketupat misalnya, konon berasal dari kata kupat atau ngaku lepat. Mengaku bersalah!. Kupat atau ketupat lazim dihidangkan saat lebaran bukan hanya karena teksturnya yang cocok untuk alat pencernaan kita setelah sebulan berpuasa, namun juga menyimpan beberapa filosofi. Kenapa mesti dibungkus dengan janur, bukankah daun bambu, daun nangka bahkan daun tebu juga bisa digunakan?. Kenapa mesti menggunakan janur, bukan daun kelapa tua atau blarak?.
Ketupat direbus dalam jalinan janur, insya Allah karena Mbah Sunan Ampel ingin menegaskan kepada kita jika lebaran adalah masa rawan kalbu kita. Janur identik dengan pengantin, dan hati kita yang sebulan telah menjalani masa pingitannya, kembali perawan begitu takbir lebaran dikumandangkan. Perawan itu sensitif. Rawan dan malu-malu. Dan perawan juga –lazimnya—identik dengan kesucian. Maka ketupat direbus dengan janur mengandung pesan tersembunyi dari Mbah Sunan Ampel agar kita memperlakukan hati kita secara hati-hati layaknya memperlakukan istri pada masa anyar-anyaran. Ia bisa dengan mudah mengalami shock luar dalam layaknya perawan pada masa kemanten anyar. Mudah purikdan goncang akibat penyusaian “iklim psikologis” dari masa perawan menuju status baru : seorang istri.
ketupat-lebaran
Contoh kecil misalnya, begitu turun dari shalat Id hati kita masih suci, serba lapang seakan watak asli manusiawi kita ikut luruh bersama air wudlu. Ketika para kerabat atau tetangga yang bersilaturrahmi memecahkan gelas atau anaknya mengencingi karpet pada hari pertama lebaran, insya Allah kita akan legawa. Akan tetapi pada hari kedua lebaran dan seterusnya, jika kita mendapati suguhan yang kurang mewah, sambutan yang kurang gati atau Si Anu masih belum juga mengkeramik rumahnya, sedikit banyak hati kita akan goyang. Watak asli kita sudah mulai muncul. Itulah yang oleh Mbah Sunan Ampel diwanti-wanti: jangan menodai keperawanan hati.
Pada hari-hari lebaran selanjutnya, kita biasanya akan semakin teledor. Baru keluar dari rumah Cak Manap halal bihalal, minta maaf atas segenap salah dengan beliau, bertamu ke rumah Cak Dul kita sudahngerasani Cak Manap mulai A-Z. Baru tadi pagi salaman sama Cak Suep, sore ketemu Cak Mat sudah menjelek-jelekkan Cak Suep dengan gayeng. Itulah pasemon Mbah Sunan Ampel. Kenapa ketupat dibungkus janur, seperti upacara pengantin saja.
Adapun lontong, terlepas dari ia bisa kita santap di luar lebaran, jika kita amati ia lebih mirip cungkup makam. Seakan Mbah Sunan Ampel berpesan kepada kita “ilingo ngger, sak temene kowe bakal mati”. Jika kita berhasil meraih Idul Fitri, ya Alhamdulillah. Tapi kalau tidak, tegakah kita menyiksa diri dengan puasa, tarawih, tadarrus, sedekah pada tahun-tahun selanjutnya hanya untuk digratiskan pada setan untuk mengkorupsi saldo pahala dengan murah hati?. “ Ilingo ngger, umurmu ora mesti menangi wulan poso maneh”. Seakan begitu wanti-wanti Mbah Sunan Ampel. Ramadhan adalah bulan amnesti massal, bagaimana kalau kita ketlisut, tidak masuk catatan para hamba Tuhan yang beruntung itu?. Lontong yang belum direbus, jika kita perhatikan pincukan daunnya, mirip sekali dengan cungkup makam agar kita lebih familiar dengan kematian yang sangat pasti namun sering kita anggap main-main itu.
Dan lebih vulgar lagi, Mbah Sunan Ampel mengajari kita membuat dan menikmati lepet, makanan yang jelas-jelas mirip mayat dalam balutan kafan itu. Tak hanya bentuk, tali pengikatnya pun tiga helai, identik dengan keadaan kita beberapa saat menjelang masuk liang lahat.
Kematian, dalam filsafat Jawa –terutama Jawa-Islam—begitu diakrabi seakan ia bukan mega musibah bagi segenap mahluk bernyawa. Tujuannya adalah agar kita tidak memandang kematian hanya dari segi “negatif” semata, namun juga merupakan pintu agung pemutus kerinduan agung dengan Gusti Allah. Jika kita termasuk salah satu mahluk yang beruntung meraih Idul Fitri, kematian malah merupakan jalan selamat dari hawa dunia yang semakin tak nyaman ini.
Selamat Idul Fitri, semoga kita layak menggapainya. Mohon maaf jika aku tergoda bisikan halus untuk mengguruimu. | Penulis : Abdur Rozaq