Terbang Laro: Kado Budaya Dari Desa Cendono Untuk Pasuruan

5272
Para penari Terbang Laro saat tampil di sebuah acara pemerintah Kabupaten Pasuruan. Di tengah budaya populer, para pemuda Desa Cendono tetap gigih menjadi punggawa tradisi.

“Solawat asline iku kang utomo, ayo konco podo digatekno…” Itulah sebaris syair yang dilantunkan dalam Terbang Laro, kesenian tradisional yang eksis di Desa Cendono Kecamatan Purwosari. Terbang Laro merupakan satu dari belasan kesenian tradisional di Kabupaten Pasuruan yang masih bertahan di tengah himpitan kesenian populer.

Kata terbang merujuk pada terbangan, yakni aktifititas musikal menabuh sebuah alat bernama terbang yang dilakukan dua orang atau lebih untuk mengiringi lantunan syair atau sholawat. Aktifitas musikal ini dikenal dengan kesenian terbangan yang lazim ditemui di setiap daerah di Jawa dimana tinggal komunitas muslim. Terbangan sendiri merupakan akulturasi kebudayaan Jawa dan Islam. Sementara kata laro merupakan akronim dari ular-ular kaweruh, yang dalam bahasa Indonesia dapat dimaknai menularkan pengetahuan, memberikan suri tauladan.

Baca Juga :   Lapas Pasuruan Kecolongan, Tahanan Titipan Kabur

Secara umum kesenian Terbang Laro sama dengan kesenian terbangan pada lazimnya. Namun Terbang Laro memiliki keunikan yang membuatnya berbeda. Perbedaan tersebut bisa dijadikan penegas bahwa kesenian ini khas Kabupaten Pasuruan.

Terbang Laro merupakan perpaduan antara seni suara dan seni gerak. Ia menjadi unik dengan adanya alat musik ketipung, yakni ketipung lanangan dan wedoan.

Pada umumnya, terbangan hanya menggunakan alat musik terbang dan jidor. Belakangan, seniman Terbang Laro memasukkan gamelan untuk memperkaya musikalitasnya.

Yang jadi pembeda dan yang menegaskan ke-khas-annya adalah munculnya tarian pada pertunjukan kesenian ini. Karena itu orang sering menyebut kesenian ini Tarian Terbang Laro. Dalam beberapa momen, pertunjukan Terbang Laro juga diselingi lawakan dan ludruk (lakon).

Selain menghibur dan membuat penonton senang, kesenian ini selalu berusaha mengemban ular-ular kaweruh dalam setiap pertunjukkannya. Selain sholawat, seniman Terbang Laro selalu berusaha menyisipkan suri tauladan melalui lawakan. Lakon-lakon yang dimainkan juga dipilih atas pertimbangan unsur pendidikan, seperti tokoh Sakera, perang kemerdekaan dan lainnya. Suri tauladan juga disampaikan lewat bahasa gerak melalui tari-tarian yang dimainkan.

Baca Juga :   Surat ‘Cinta’ Kiai Kampung Pasuruan untuk SBY

“Dalam bahasa sederhana, Terbang Laro merupakan seni terbangan yang mengiringi tarian, lawakan dan lakon. Selain bisa mengambil hikmah sholawat juga bisa mengambil kaweruh lewat tarian, lawakan dan kisah (lakon) yang dimainkan,” kata Hasan, Ketua Paguyuban Terbang Laro.

Dalam setiap pertunjukan Terbang Laro, kata Hasan, melibatkan 25 sampai 30 orang. 15 orang memainkan alat musik, 10 menari dan 5 orang memainkan lawak serta lakon. Hasan mengatakan, jumlah tersebut tidak baku, bisa berkurang dan bisa lebih.

“Durasi dalam setiap tarian bisa 10 sampai 15 menit. Fleksibel tergantung acara dan permintaan,” kata dia. “Bisa juga sampai semalam suntuk,” imbuh Hasan.

Terdapat beberapa jenis tarian yang biasa dimainkan dalam pertunjukan Terbang Laro. Diantaranya Adrek Duduk, Kendayan, Seri, Polisi, Lingsir dan Monelan. Selain tarian-tarian asli yang merupakan bagian dari kesenian Terbang Laro tersebut, saat ini juga dipentaskan tarian dari daerah lain seperti Derok, Payung, Lilin dan tarian lainnya.

Baca Juga :   Tolak Proyek SPAM, Ratusan Warga di Probolinggo Blokir Jalan

Hasan mengklaim, Terbang Laro bisa dikatakan merupakan kesenian khas dan asli Pasuruan, yang kata dia, hanya hanya ada di Desa Cendono. “Para pemusik dan penari, semuanya warga Desa Cendono. Nggak ada orang luar,” jelas Hasan.