Demi Tradisi, Muda-mudi Tengger Rela Menunda Nikah

1869
Upacara pernikahan suku Tengger di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. WARTABROMO/Sundari A. W

Sukapura (wartabromo) – Suku Tengger di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, teguh memegang tradisi. Demi menjaga tradisi, mereka rela menunggu bertahun-tahun untuk bisa melangsungkan pernikahan.

Supoyo, tokoh adat Tengger, menuturkan sesuai adat, masyarakat Desa Ngadisari yang akan menikahkan anaknya diwajibkan mendaftar terlebih dahulu ke minimal dua tahun sebelum menikah kepada petinggi atau kepala desa. “Dalam adat kami seperti itu, jadi sebelum menikah harus mendaftar dulu pada petinggi,” kata Supoyo, Jumat (27/11/2015).

Dari data di Desa Ngadisari, hingga tahun 2018 mendatang warga sudah tidak bisa mendaftarkan untuk menikahkan anaknya. Dengan kata lain, warga yang hari ini ingin menikah baru bisa dinikahkan pada 2019. Itupun jika mereka tidak telat mendaftar. Di desa ini, menikah tanpa upacara tidak dibenarkan secara adat istiadat.

Baca Juga :   Pedagang Sapi Probolinggo Dibunuh Karena Santet atau Masalah Air ?

“Disini upacara nikah sampai 2018 mendatang full,” tutur mantan Kades Ngadisari ini.

Supoyo mengatakan, bagi masyarakat Tengger khususnya di Desa Ngadisari, kepala desa mempunyai peranan ganda. Pertama di segi pemerintahan, sebagai kepala desa dan peran adat sebagai petinggi.

“Fungsinya hampir sama, cuma berbeda. Perbedaannya kalau kepala desa seputar pemerintahan saja, kalau petinggi berkaitan dengan adat istiadat. Termasuk warga yang akan mengadakan upacara apapun, semuanya yang menentukan petinggi, contohnya upacara menikah,” beber Supoyo.

Atas dasar itulah, masyarakat yang akan mengadakan upacara apapun, termasuk pernikahan, harus melapor kepada petinggi. Selain mendaftar, kepada petinggi warga meminta tahun, bulan, hingga tanggal dan hari pelaksanaan yang baik.

Baca Juga :   Razia Pekat, Satpol PP Dapati Dugaan Transaksi Pil Koplo

“Maksimal dalam satu tahun ada empat kali upacara. Baik nikah, nyewu dan juga khitan,” ujarnya.

Walau terbilang ribet dan tidak sama dengan daerah lain, ada pelajaran penting bagi masyarakat Tengger. Salah satunya, mereka mendapatkan pelajaran berharga soal perencanaan. Dengan perencanaan itu, biaya yang awalnya sangat tinggi, bisa dipenuhi dengan cara dicicil.

“Nah kalau upacaranya empat tahun lagi, berarti mereka sudah mencicil biaya keseluruhan, artinya kegiatan mereka sudah direncanakan. Jadi gak perlu ngutang sana-sini lagi, kan udah siap,” pungkas suami Kades Ngadisari, Sri Wahayu ini. (saw/fyd)