Candi Jawi, Sebuah Hikayat

2614

Banyak situs purbakala bertebaran di wilayah Kabupaten Pasuruan. Salah satunya, Candi Jawi di Desa Candiwates, Kecamatan Prigen. Konon, di candi ini abu Raja Singasari, Prabu Kertanegara, disimpan.

candi jawi sebuah hikayat 1Prigen (wartabromo) – Candi Jawi terletak di kaki Gunung Arjuno-Welirang. Secara adiministratif, candi yang dibangun di era kerajaan Singasari itu berada di Dusun Jawi, Desa Candiwates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Dari pusat kota Pasuruan, berjarak sekitar 35 kilometer.

Berbeda dengan bangunan candi lainnya yang ada di daerah ini, Candi Jawi masih relatif utuh, lengkap dengan kolam yang mengelilingi bangunan candi. Hal itu tak lepas dari kegiatan pemugaran yang dilakukan beberapa kali. Diantaranya, pada tahun 1938-1941, sebelum akhirnya disempurnakan pada tahun 1975-1980.

Dikutip dari lama perpustakaan nasional, dalam Negarakertagama pupuh (bab) 56 disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Syiwa-Budha. Raja Kartanegara sendiri diketahui sebagai penganut ajaran Syiwa Budha. Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi juga merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara.

Baca Juga :   Surat ‘Cinta’ Kiai Kampung Pasuruan untuk SBY

Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas. Sekitar 40 x 60 persegi, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 meter. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga teratai.

Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 meter dan lebar 9,5 meter. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya.

Solikin, koordinator candi Kabupaten Pasuruan mengatakan, posisi Candi Jawi yang menghadap ke timur, membelakangi Gunung Pananggungan, menguatkan dugaan sebagian ahli bahwa candi ini bukan tempat pemujaan, karena candi untuk peribadatan umumnya menghadap ke arah gunung, yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para Dewa.

Baca Juga :   Pesan Kiai Sholeh ke Mahasiswa Yudharta: Jangan Hanya Jadi Penonton

Namun begitu, sebagian ahli lain tetap meyakini bahwa Candi Jawi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung dianggap sebagai akibat pengaruh ajaran Budha.

Kendati begitu, menurut Solikin, Candi Jawi memiliki banyak keunikan dibanding bangunan candi pada umumnya. Salah satunya, batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis.

Dari Kaki sampai selasar candi dibangun menggunakan batu berwarna gelap, tubuh candi menggunakan batu putih, sedangkan atap candi menggunakan campuran batu berwarna gelap dan putih. Diduga candi ini dibangun dalam dua masa pembangunan. “Kemungkinan begitu, dibangun di dua masa,” katanya kepada wartabromo.

Merujuk pada sumber yang sama, pada kitab Negarakertagama disebutkan, pada tahun 1253 Saka, Candi Jawi disambar petir. Dalam kejadian itu, arca Maha Aksobaya menghilang. Hilangnya arca tersebut sempat membuat sedih Raja Hayam Wuruk ketika baginda mengunjungi Candi Jawi.

Baca Juga :   Kades Nogosari Meninggal, Kasusnya Dihentikan

Setahun setelah disambar petir, Candi Jawi kemudian kembali dibangun. Pada masa inilah diperkirakan mulai digunakannya batu putih. Penggunaan batu putih tersebut juga mengundang pertanyaan, karena yang terdapat di kawasan Gunung Welirang kebanyakan adalah batu berwarna gelap. Kemungkinan batu-batu tersebut didatangkan dari pesisir utara Jawa atau Madura.

Kaki candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 meter dengan pahatan relief yang memuat kisah tentang seorang pertapa perempuan. Tangga naik yang tidak terlalu lebar terdapat tepat di hadapan pintu masuk ke garba graha (ruang dalam tubuh candi). Pahatan yang rumit memenuhi pipi kiri dan kanan tangga menuju selasar. Sedangkan pipi tangga dari selasar menuju ke lantai candi dihiasi sepasang arca binatang bertelinga panjang.