Hari Mesum Internasional

1022

tetotFirman Murtadlo, aktivis kampung yang tidak jelas profesinya itu kembali dibutuhkan jasanya oleh pemerintah. Menjelang perayaan hari Valentine atau hari kasih sayang ia dimanfaatkan oleh Dinas Pemintaran Rakyat kota setempat. Tugasnya, ia harus memberi semacam penyuluhan terhadap para pelajar agar –sebaiknya—tidak merayakan hari Valentine. Kenapa harus dikatakan ia dimanfaatkan? Karena panitia menganggarkan dana honorarium pembicara dalam laporan, namun pada prakteknya Firman hanya diberi satu pak rokok dan diajak ngopi di alun-alun oleh ketua panitia. Memang sedikit aneh kalau Dinas Pemintaran Rakyat tidak mengutus pembicara intern dari dinas, malah memanfaatkan Firman yang bagaimana pun porak poranda ekonominya, tetap all out menjadi pekerja sosial. Pertama, alasannya ya masalah laporan honorarium tadi. Kedua, pembicara berseragam selalu membikin ngantuk peserta. Kalau bicara di forum kurang ilmiah karena kurang baca.

Baca Juga :   Masjid Cheng Hoo Pandaan, Antara Sholat dan Istirahat

Maka, pada waktu dan tempat yang sudah dipersilahkan, Firman Murtdlo mulai berbicara di depan forum yang hampir semuanya pelajar itu. Gaya! Firman Murtadlo memang hebat apabila sudah bicara dalam forum. Ia bahkan sering lupa jika sejatinya ia adalah pejuang bangsa sekaligus pecundang bagi keluarga. Pekerja sosial yang membiarkan istrinya banyak hutang dan anaknya busung lapar. Orang-orang besar kadang memang bernasib tragis demikian, tapi Firman Murtadlo bukan siapa-siapa.

Khas Indonesia, forum-forum ilmiah atau setidaknya berbau ilmiah selalu kurang menarik. Para peserta –bocah-bocah pelajar—ramai dan memilih tempat duduk di belakang. Ada cara cerdas untuk menyiasati hal itu. Pertama, diskusi diselingi orkes dangdut atau konser band, kedua diadakan di tengah arena balap liar. Dengan begitu diskusi bisa ramai karena peserta merangsek ke depan.

Baca Juga :   Kunjungi Pusdik Brimob Watu Kosek, Kapolri : Fasilitas Tak Layak

Firman memulai materi penyuluhannya.

”Alkisah pada zaman dahulu kala, sorang pendeta bernama Valentino dijatuhi hukuman mati karena menikahkan seorang tentara Romawi dengan kekasihnya. Pada zaman itu memang diberlakukan larangan menikah bagi tentara Romawi kerana kaisar khawatir semangat juang para prajurit akan menurun jika memiliki istri, apalagi anak. Rupanya si kaisar tahu jika seorang bujangan—apalagi yang lapuk—bisa diandalkan untuk berbuat ugal-ugalan alias nekat. Ini juga bisa menjadi bocoran bagi bapak-bapak polisi, bahwa para pembalap liar –mungkin—bisa anteng kalau dinikahkan secara sah dan dibiayai negara.”

”Eksekusi pendeta Valentino dilangsungkan pada Senin Wage tanggal 14 Pebruari, lalu entah siapa, menetapkannya hari kewafatan pendeta tersebut sebagai hari kasih sayang atau Valentine Day. Banyak orang di berbagai penjuru dunia memperingati haul pendeta Valentino, termasuk kita di Indonesia.”

Baca Juga :   Waduch! PSK Dolly Jadi Sales Permen di Kota Pasuruan

”Tapi sayang, acara haul sang pendeta yang semestinya diperingati dengan hidmat untuk mengenang ketulusan beliau berkorban nyawa untuk menyatukan dua hati—cie! Cie!, so sweet—kita peringati dengan—sebagian besar—cara yang salah. Bahkan pada ahirnya kasih sayang sendiri mengalami pergeseran makna.”

”Pertama, kasih sayang kita maknai sebagai Kasih dan Sayang. Kalau ngasi atau memberi baru bisa disayang. Cinta menjadi komoditas. Seorang cewek cantik bisa memiliki beberapa pacar sekaligus dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomis. Pacar A sebagai pensuplai pulsa, pacar B sebagai donatur ketika makan dan pacar C kebagian pembiayaan perawatan di salon. Model hubungan simbiosis mutualisme ini tidak bisa disebut kasih sayang karena ada modus kapitalisme di dalamnya. Tak beda jauh dengan menjual cinta bahkan menjual diri.”