Puasa Tanpa Nilai

766

Ilustrasi puasaPuasa, bagi sebagian orang adalah sebuah siksaan. Terutama bagi pemanja lidah dan perut, pekerja berat dan lebih khusus bagi orang Islam yang belum beriman.

Apalagi setelah kuliner menjadi salah satu ragam gaya hidup bahkan prestise, puasa merupakan hambatan yang secara paksa “diturunkan langit” untuk membatasi manusia dalam menikmati hidup. Imam Ghazali pernah mengatakan bahwa nikmat hidup ini sebenarnya hanya mengkerucut pada tiga hal; makan-minum, istirahat atau bersantai dan rekreasi serta bersebadan. Sedangkan dalam berpuasa, makan-minum serta bersebadan dibatasi durasinya. Maka nyatalah jika puasa adalah sebuah beban berat.

Dan puasa yang sedemikian mengerikannya bagi kesenangan jasmaniyah manusia itu, diwajibkan oleh agama. Apabila melanggarnya akan dikenai adzab tak kepalang tanggung. Nabi pernah memperingatkan bahwa seorang muslim yang meninggalkan puasa wajib bukan karena halangan syar’i, mendapat dosa setara dengan dosa berzina dengan orang tua kandung sebanyak tujuh puluh kali.

Baca Juga :   Target Produksi Garam Nasional di Pasuruan Tak Tercapai

Maka, kita yang percaya dengan wahyu, percaya terhadap ahirat dan hari pembalasan dengan tidak main-main, terpaksa atau tidak, akan berhaus-lapar ria sebulan penuh Ramadhan. Hobi nyemil, merokok ditemani minum kopi, harus stop sebulan penuh pada siang hari. Belum lagi kita yang kebetulan berprofesi sebagai tukang bangunan, tukang kayu, sopir, tentara atau apa saja yang membutuhkan energi besar dalam berkarya, harus berhaus-lapar ria meski kewajiban mencari nafkah harus tetap berjalan.

Namun tak cukup di situ, meski kita sudah berpuasa selama sebulan penuh, dengan tetap bekerja, melaksanakan sholat serta kewajiban lain, akan sama saja dengan tidak berpuasa jika rambu-rambu quality control puasa tidak kita perhatikan.

“Banyak sekali orang berpuasa yang tak mendapat apapun selain haus dan lapar” kata Nabi.

Maka, agar puasa—yang merupakan siksaan—tidak percuma, kita harus memperhatikan apa saja pembatal pahala puasa itu?

Baca Juga :   100 Hektare Hutan di Gunung Ringgit Ludes Terbakar

Pertama, dusta. Dusta dikategorikan sebagai perusak pahala puasa “karena” ia adalah salah satu indikasi dari menjangkitnya penyakit munafik di dada seseorang. Iman dan munafik adalah dua hal yang tidak bisa menyatu dalam dada seorang hamba. Banyak tercatat dalam sejarah tentang kerusakan besar yang disebabkan oleh sifat munafik suatu kaum. Salah satu contohnya adalah, apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam pada masa Rasul. Akibat hasutannya, banyak umat Islam yang membelot pada perang Badar dan perpecahan antara Sunni dan Syiah seperti yang kita lihat hingga sekarang, adalah buah karya Yahudi itu.

Kedua, ghibah atau menggunjing. Secara istilah, ghibah adalah membicarakan—perihal, aib—seseorang tanpa kehadirannya. Dan apabila pembicaraan itu terdengar olehnya, maka ia akan marah. Ghibah membatalkan pahala puasa “karena” dosa ghibah lebih besar daripada dosa berzina. Kenapa demikian? Karena zina hanya merusak pelakunya secara personal, sedangkan ghibah atau menggunjing bisa merusak nama baik, masa depan hingga agama orang yang digunjingkan. Ghibah juga berpeluang menyulut permusuhan yang dalam Islam sangat dilarang.

Baca Juga :   Kasus Penganiayaan Tukang Ojek Bermotif Cinta Segitiga, Polisi Masih Memburu Pelaku

Ketiga, Namimah atau adu domba. Ghibah dan Namimah adalah saudara kembar yang efek pengerusakannya hampir setara. Bedanya, pelaku Namimah aktif melakukan provokasi dua arah. Mereka memprovokasi dua orang yang bertikai dengan menyampaikan berita berbeda dan bersifat memperkuruh keadaan.

Keempat, sumpah palsu. Sumpah menurut Islam, hanya sah apabila disandarkan kepada nama Allah dengan menggunakan huruf qosam. Sumpah baru dianggap sah dan diberlakukan segenap ketentuannya apabila menggunakan kata billahi, wallahi atau tallahi yang kesemuanya berarti demi Allah. Para pejabat yang bersumpah dengan kata-kata seperti di atas –apalagi disodori kitab suci—termasuk bersumpah palsu apabila melanggar sumpahnya.