Lokalisasi Ketan Koya

2190

Baru saja dapat satu seruputan kopi, Cak Mansur langsung merusak ritual Firman Murtado. Maka, rencana Firman merayakan hidup di warung langganan lamanya itu buyar seketika. Diganti dengan perasaan galau tak terperi.

“Sepi terus, cak. Tidak seperti jualan di alun-alun.” Kata Cak Mansur sendu.

“Sejak sore tadi baru ngudek dua gelas. Tadi malam malah bawa dua liter susu tidak habis. Tak ada yang minum STMJ sama sekali.”

“Lho, beda ya jualan di sini sama jualan di trotoar alun-alun?” tanya Firman, mesisan terlibat.

“Ya beda cak. Kalau jualan di alun-alun kan, orang langsung jujug begitu turun dari masjid atau datang dari makam Mbah Hamid. Para peziarah luar kota juga langsung jujug di warung, tidak usah tolah-toleh.”

“Tapi kan bikin macet, cak?”

“Yang bikin macet itu bukan lapak-lapak pedagang, tapi barisan sepeda motor yang mengepung hampir seluruh penjuru alun-alun itu.” Cak Mansur membela diri.

Baca Juga :   Ada 66 Kasus DBD Sepanjang Bulan Januari di Probolinggo

“Setahu saya, alun-alun kota mana saja tidak seperti alun-alun kita, lho, cak. Steril dari lapak-lapak dan barisan sepeda motor serta mobil.”

“Ah, sampeyan ini kok pura-pura nggak tahu saja. Wong kota-kota besar seperti Paris saja punya warung kopi pinggir jalan? Makanya orang Paris pinter-pinter dan selera seninya tinggi.” Berkat barokah Mbah Gugel, Cak Mansur pinter.

“Tapi itu bukan di jalan protokol seperti depan alun-alun begini. Lagi pula kita beda dengan orang Paris. Mereka kalau jandoman di warung bawa buku, makalah, katalog bahkan laptop. Kalau kita, jandomannya selalu sibuk sama hp bersosmed ria. Ngopi satu gelas, jandomannya dua hari dua malam.” Sanggah Firman Murtado.

“Sebenarnya kami ingin tetap jualan di alun-alun, Cak Firman. Tetap menjamu tamu-tamu Mbah Hamid dengan Ketan Koya, wedang jahe, STMJ serta kopi Sepur. Pagi-pagi selepas subuh, Wak Kaji rutin sarapan sambil mutar-mutar tasbih. Datang dan pergi saling bersalaman dan saling curhat asam urat.”

Baca Juga :   Balai Desa Sukomulyo Ambruk

“Ketertiban kota harus kita nomor satukan, Cak Mansur.”

“Lha kalau mau menertibkan kota, ya mbok jangan lapak-lapak penjual kopi saja yang dilokalisasi. Itu bisnis sewa lahan buat menata kendaraan, juga mohon dilokalisasi. Bahkan dulu alun-alun diperkecil, sepertinya dalam rangka memperluas bisnis sewa lahan itu.” Firman Murtado tolah-toleh, takut ada orang yang mendengar obrolan mereka. Isu sensitif begitu harusnya tidak diumbar di warung.

“Sampeyan kan tahu kalau alun-alun itu berasal dari bahasa Arab, al launu? Artinya kan bermacam-macam? Para ahli tata kota Demak pada zaman Walisongo, juga sengaja meletakkan masjid jamik, alun-alun dan rumah dinas sultan di satu titik, agar ulama’, pejabat serta rakyat bisa serawungan setiap saat? Lha kalau sekarang warung-warung dilokalisasi, berarti melenceng dari fungsi awalnya, kan?” Cak Mansur terus nyerocos.

Baca Juga :   Kuburan Bayi Diduga Korban Pembunuhan Dibongkar

“Kami para penjual kopi, adalah pejuang budaya, ekonomi, kearifan lokal bahkan spiritual, lho cak.” Cak Mansur makin menjadi-jadi.

“Kok bisa?” Firman heran.

“Lho, yang menyuplai kafein bagi para seniman lokal kan kami? Kami juga menyelamatkan diri dari korupsi atau membegal dengan menjual kopi. Dan yang mempertahankan budaya rasan-rasan pemerintah dan yahampret, juga kami.”

“Terus, apa hubungannya dengan perjuangan spiritualitas?” kejar Firman.

“Kamilah yang mensuplai kafein buat saudara-saudara kita yang hendak tirakat di makam Mbah Hamid.”

“Sebenarnya lebih enak di Pasar Poncol begini cak, biar ada silah-silahnya. Alun-alun jadi lengkap karena selain  ada masjid, alun-alun dan rumah dinas pejabat juga ada pasar.” Firman mencoba meredam Cak Mansur.

“Tapi sepi begini, bagaimana kalau kami bangkrut lalu alih profesi jadi Mafioso Jawa?”