Kenduri Maulid dan Srakalan Plembungan

2098

Entah benar entah isu, ada desas-desus Gus Hafidz melarang memasang plembungan (balon) dalam kenduren maulid kali ini. Karena “fatwa” Gus Hafidz itu, maka kampung menjadi “panas”. Kenapa? Karena ini simalakama. Tidak digubris fatwa Gus Hafidz, digubris berarti memusnahkan salah satu kesenangan tahunan masyarakat di kampung Cak Manap. Sedangkan Gus Hafidz sendiri adalah satu-satunya manusia yang masih bisa dipercaya di kampung itu.

Satu-satunya yang masih bisa menjadi tali antara syariat Kanjeng Nabi yang murni dengan umat, satu-satunya yang masih bersih dari pragmatisme dunia politik dan sebelumnya, Gus Hafidz tak pernah bikin masalah.

“Karepe piye?” protes Mas Bambang di warung.

“Saya curiga ada apa-apa dengan Gus Hafidz. Jangan-jangan ada yang menyelinap dan membisiki beliau kalau memperingati maulid Nabi itu syirik?” Arif menambah panas suasana.

“Lha ya, dengaren Gus Hafidz bikin perkara begini?” Mas Bambang kembali bersuara.

Baca Juga :   Razia “Mandi Junub”

“Kita orang awam mana tahu maksud Gus Hafidz. Tak mungkin gus kita itu ujug-ujug memberi fatwa “haram” orang menggantung plembungan di langgar. Pasti ada sebabnya.” Cak Manap mencoba melerai.

“Ini tradisi, katanya nggak ilok menghilangkan tradisi? Apalagi ini dalam rangka menghormati hari kelahiran Kanjeng Nabi?” Mas Bambang makin lantang, membuat Firman Murtado angkat bicara.

“Mungkin karena kita selalu mulutan, bukan mauludan, mas?”

“Apa bedanya mulutan dengan mauludan?” Mas Bambang sengit.

“Kalau mulutan itu hanya mementingkan berkat, buah-buahan dan rebutan plembungan.”

“Kalau maulidan?” Mas Bambang mengejar.

“Kalau maulidan itu ya benar-benar mengagungkan hari kelahiran Nabi, serakalan tidak tolah-toleh cocogan, tidak mengincar berkat yang ada bendera uangnya, tidak rebutan seperti politisi saat pemilu.”

“Faktanya tidak seperti itu…” sela Ustadz Karimun tiba-tiba.

Baca Juga :   Segera Dilaksanakan, Begini Tehnis Wajib Madin Bagi Siswa Pasuruan

“Maksudnya?” ujar mereka hampir bersamaan.

“Gus Hafidz bukan melarang kita menggantung plembungan di langgar saat mauludan. Gus Hafidz hanya melarang kita rebutan justru pas Kanjeng Nabi rawuh. Selama ini kan, kita gemeredek berebut plembungan saat mahallul qiyam? Langar sampai korat-karit seperti kapal pecah. Berkat kundangan tumpah, nasi kena injak, buah-buahan penyet, cowek pecah dan jangan-jangan Kanjeng Nabi tidak jadi rawuh.” Kata Ustadz Karimun.

“Lho, itu justru dalam rangka memeriahkan kelahiran Nabi, ustadz?”

“Niat kita baik, tapi kurang bijak. Coba, kalau ada Wak Camat datang ke kantor desa, apa pantas kita pencolotan di hadapan beliau?” semuanya terdiam.

“Apa pantas, pas Wak Camat mau datang ke desa ini, di perempetan kita pasang umbul-umbul kurang senonoh? Apa pantas di panggung kehormatan di pasang sarung, cawet, kutang, kaos kutang, sandal, plembungan?” semuanya makin terdiam.

Baca Juga :   Pesta Sabu, Kades dan Perangkat Desa Ngadirejo Digerebek Polisi

“Selama ini, insya Allah Kanjeng Nabi selalu batal rawuh ke kampung kita saat maulid, ya karena kita asal-asalan menyambut beliau. Beliau kita undang dengan membaca maulid Diba’, tapi pas beliau rawuh, kita malah pencolotan rebutan plembungan.” Firman Murtado gemetar.

“Katanya Kanjeng Nabi itu sayang sama umatnya?” Mas Bambang masih bersuara.

“Betul. Tapi kita kan ndlurung, mas?” Firman Murtado yang nyauti.

“Ndlurung bagaimana?”

“Serakalan bawa hp, bukannya hidmat menyimak bacaan Diba’, malah sibuk dengan sosial media, bahkan ada yang kenemenen mengangkat telepon. Memang penting seperti apa sih, apa tidak bisa ditunda? Presiden saja, saya yakin kalau tahlilan akan mematikan hp. Lha kita ini, atase hp murah, pulsa paketan dan urusannya tidak penting malah berani-beraninya ngangkat telepon pas serakalan.” Ustadz Karimun manggut-manggut mendengar Firman Murtado.