Imlek dan MoU Kendil Kendalon

2873

“Jalmo moro jalmo mati, sato moro sato mati, begitulah tanah Jawa Dwipa ini di masa lalu.” Ujar Gus Hafidz di warung Cak Manap.

“Dulunya, tanah Jawa ini tidak bisa ditempati manusia karena ketidakramahan lelembutnya. Manusia datang akan mati, binatang datang juga mati. Bahkan ketika salah satu sultan dari kesultanan Turki Utsmani mengirim 20 ribu pasangan untuk menempati dan mengelola tanah Jawa, para danyang keberatan. Dinegosiasilah mereka hingga tersisa 40 orang saja yang kemudian melarikan diri kembali ke Turki. Melapor kepada sang sultan.” Gus Hafidz berhenti untuk menyeruput kopi.

“Sang sultan kemudian mengutus Syekh Syubakir untuk melakukan sweeping. Menanami tumbal di pusar tanah Jawa—gunung Tidar. Japamantra Sykeh Syubakir bereaksi, terjadilah kegegeran di dunia para danyang. Karena para lelembut kewalahan dengan bombardir japamantra Syekh Syubakir, sang pemimpin, Mbah Kendil Kendalon melakukan negoisasi dengan Syekh Syubakir. Gencatan senjata disepakati, MoU ditandangani.

Baca Juga :   Kabupaten Pasuruan Raih Penghargaan Sebagai Kota Terbaik Investasi

Para rakyat Mbah Kendil Kendalon menyatakan akan hidup “damai” dengan Anak Adam selama mereka tidak menerobos “batas teritorial”. Tanah Jawa boleh ditempati Anak Adam dengan syarat harus berisi empat macam warna kulit. Manusia berkulit putih alias warga Turki, manusia berkulit hitam atau suku Dravida dari Gujarat, manusia berkulit kuning alias ras Mongoloid dari Tiongkok dan manusia berkulit sawo matang atau penduduk lokal. Syekh Syubakir sepakat dengan syarat tersebut.

Mbah Kendil Kendalon marem dan tumbal itu lama kelamaan tumbuh menjadi sebuah spesies tanaman yang belum ada sebelumnya. Karena ditanam oleh seorang wara’, manusia anti kemapanan atawa zuhud, pohon itu dinamakan pohon wari’in. Dan oleh lidah Jawa disebut weringin.” Firman Murtado manggut-manggut menyimak.

“Jadi, kalau saat ini ada sebagian orang yang bermaksud membatalkan MoU antara Syekh Syubakir dengan Mbah Kendil Kendalon, berarti ia cari perkara.

Baca Juga :   Kisah Charly yang Kagumi Pasuruan hingga Koleksi Lukisan Kiai Hamid

Dan bisa-bisa kita semua yang kena awu anget. Sykeh Syubakir sudah bermikraj ke hadirat Allah, sedangkan Mbah Kendil Kendalon—karena beliau dari bangsa Jin—masih hidup hingga kini. Apa nanti tidak berbahaya kalau MoU itu kita ongkra-ongkra? Apa tidak akan menimbulkan ketersinggungan Mbah Kendil Kendalon yang sakti mandraguna? Jangan-jangan tanah Jawa –biidznillah– “ditenggelamkan” atau paling tidak dipotong menjadi dua bagian dari parit raksasa di lokasi Lapindo?”

“Tapi rasisme yang dihembuskan-hembuskan sekarang terjadi di seluruh Nusantara, gus?” Arif interupsi.

images (10)-650x500

“Jawa itu –konon—tolok ukur Nusantara, mas. Bahkan ada yang narsis kalau Jogja adalah poros jagat mayapada ini. Kalau di Jawa terjadi huru-hara, dunia bisa gawat.”

“Nah, kalau saat ini masih saja ribut soal rasisme, warna kulit dan keyakinan, taruhannya sangat besar. Bisa talak tiganya propinsi-propinsi Nusantara atau jotosan sak konco seperti di Irak dan Suriah.”

Baca Juga :   Terjatuh Hindari Tabrakan dengan Mobil Boks, Remaja Asal Gempol Tewas di Kolong Tronton

“Kaum Tionghoa, sesuai MoU tadi, secara de jure adalah pewaris Nusantara ini juga. Bukan dalam arti ekspansi lho ya? Hanya sebatas mengakui WNI yang sudah punya NIK dan ari-arinya di kubur di Nusantara. Mereka yang punya kartu kelurga berlogo Pancasila, haram kita anggap orang lain. Mereka itu juga keluarga kita. Penggerak roda perekonomian nasional, pahlawan pengharum nama bangsa dengan prestasi mereka di bidang sains, bulutangkis, wushu dan entah apalagi.”

“Kalau WNI yang berjenggot lebat dan berhidung mancung tidak pernah kita anggap orang lain, kenapa kerabat yang bermata sipit dan berkulit kuning sering kita anggap bukan keluarga? Ini kurang arif.”