“Adminitrasi Liar”

1118
“Mas, ikut saya yuk.” Kata Arif kepada maha guru ilmu sempelnya, Firman Murtado.
“Kemana, ngopi?”
“Gampang soal ngopi, mas. Saya mau minta tolong obrak-obrak sarang pungli.” Ujar Arif serius.
“Ndasmu, memangnya aku ini siapa?”
“Lha terus saya mau madul sama siapa? Siapa yang benar-benar bisa disambati tanpa memberi sesaji?”
“Yo mbuh.”
“Ayo talah, mas. Saya dapat masalah ini.” Rengek Arif.
“Masalah apa?”
“Saya mau dipungli, ditarik administrasi, eh sesaji liar pas daftar kawin ke kantor urusan perkawinan.”
“Jangan bikin pitenah, gelangan monel kamu nanti. Ini zaman HAMburger. Salah teriak maling kamu sendiri yang mboking hotel prodeo.”
“Wong aku sendiri yang dengar. Mau daftar kawin di kantor urusan perkawinan ditolak karena pakai KTP sementara.”
“Lha salah sendiri ndak punya KTP.”
Stop-Pungli
“Saya sudah rekam data e-KTP, tapi dua abad belum jadi, tanya wak modin katanya nggak tahu kapan jadi.”
“Ngak wes, kamu sendiri yang ke sana. Aku ndak mau terlibat. Sekarang ini penegakan hukum hebat. Semua orang melek hukum, salah ngomong bisa digelangi monel. Itu deritamu, bukan deritaku.” Firman Murtado nyembibik.
“Jarene aktivis, aktivis kok wedian. Aktivis pret!”
“Wes tuwuk jadi pahlawan. Lima belas tahun mencerdaskan bangsa ya masih digaji 150 ribu. Aku benci jadi orang baik, orang baik selalu kalah.”
“Terus piye, mas?”
“Awakmu tukarono sendiri saja. Tak ajari caranya.”
“Wah sip, mas.”
“Sekarang simulasi saja. Kamu memerankan dirimu, aku jadi tukang punglinya.”
“Sip, mas.”
“Ayo mulai.”
CAMERAAA, ACTION!
“Saya mau daftar nikah, pak.”
“Lho, datanya kok kurang?”
“Kurang apanya, pak?”
“Ini kok KTP sementara?”
“Belum jadi, pak. Sudah rekam data tapi tiga bulan belum jadi.”
“Sampeyan ngurusi ke catatan penduduk?”
“Lho, saya kira sudah ditangani sama perangkat desa?”
“Oo, kalau minta tolong sama perangkat ya kasih uang bensin, mas.”
“Lho katanya gratis, pak?”
“Bikinnya gratis, mas. Tapi wira-wiri ke kantor catatan penduduk kan butuh bensin?”
“Tapi kan itu sudah tugasnya perangkat?”
“Berapa gajinya, mas?”
“Dapat tunjangan, lho pak? Dapat pecaton segala dan sering nginap di hotel ikut pelatihan. Dapat sangu, meski di hotel cuma tidur-tiduran dan pulangnya belum paham materi pelatihan.”
“Hush, jangan asal tuduh, mas. Dituntut sampeyan.”
“Itu saya sendiri kalau pelatihan, pak. Ini kan Indonesia, saya kira kulturnya sama.”
“Data sampeyan tidak bisa diproses di kantor perkawinan, mas. Maka harus diakad di rumah, biayanya satu juta.”
“Cuk, mahal pak.”
“Kok misuh, mas?”
“Maaf, pak. Reflek.”
“Nggak ilok, mas.”
“Sama dengan pungli ya pak?”
“Lho, ini bukan pungli, mas. Memang segitu tarifnya karena di luar jam dinas.”
“Kalau ngopi saat jam dinas kok nggak bayar, pak?”
“Mas jangan macam-macam ya, saya persulit nanti.”
“Kok masih rencana, dari tadi kan sudah dipersulit, pak?”
“Saya hanya melakukan sesuai prosedur.”
“Jadi prosedurnya harus njimet ya pak? Data saya yang sudah lengkap dibilang tidak memenuhi syarat biar akadnya di rumah dan dipungli satu juta.”
“Bukan pungli!”
“Sesaji ya pak?”
“Memangnya kami demit?”
“Mirip, pak”
“Cuk!”
“Nggak ilok, pak.”
“Bukan pungli, mas. Sudah kesepakannya segitu.”
“Bikin kesepakatan sama siapa, pak? Wong saya sebagai rakyat tak pernah dikasih sosialisasi. Lagian saya tidak sepakat, pak.”
“Ya sudah, bikin surat nikah sendiri.”
“Tugas bapak-bapak apa ya, masa tugasnya hanya menertima gaji?”.
CUUUUUTTT!!!!
“Sudah, kamu lulus, Rif. Besok bilang seperti itu ya? Sip wes!” ujar Firman Murtado berbinar.
“Terima kasih, mas. Saya masih perlu banyak berguru sama mas Firman Murtado.”
“Ndasmu!”
Penulis : Abdur Rozaq/wartabromo