Mbah Hasyim…..

1125

Bagi rakyat Indonesia, terutama di kota Cak Manap, yang namanya berduka itu tiap hari. Sebab selalu saja ada kabar buruk, rakyat menjadi almarhum gara-gara laka lantas, korban kejahatan, protes alam, pelaku kejahatan diadili masyarakat atau terkena semacam busung lapar. Belum kering air mata atas kepergian Mbah Haji Roeslan, kini mereka ditinggalkan lagi. Kali ini yang dijemput Gusti Allah malah kiai maha kiai, profesor kearifan, doktor kedewasaan berpikir, purnawirawan keselamatan bangsa, penyandang honoris causa pejuang kemanusiaan, Mbah Kiai Hasyim Muzadi.

Gus Hafidz sampai bengkak kelopak matanya, menangis diam-diam. Nyepi di kamarnya seraya meratapi “adakah pengganti” kiai, pendekar, negarawan, filsuf, guru bangsa, serta pejuang integrasi bangsa ini. Firman Murtado mengibarkan bendera setengah tiang, berduka sekaligus khawatir para perongrong NKRI akan makin menjadi. Arif menjadi pendiam. Meski belum menjadi umat Islam yang rajin sembahyang, diam-diam ia sangat mencintai pejuang cahaya bernama kiai. Barangkali dengan cara seperti itu kelak Gusti Allah memeluknya menjadi manusia genah. Cak Manap tahlilan sekeluarga. Ustadz Karimun mengkomando santrinya –yang tinggal seberapa biji—melaksanakan sholat ghaib. Bahkan umat Islam yang masih saja muallaf seperti Cak Sudar, memposting kesedihan dan kehilangan di akun sosmednya. Wak Takrip baca  Yasin. Semua jamiyyah peminum kopi di warung Cak Manap, mengekspresikan rasa kehilangannya masing-masing. Tinggal Mas Bambang yang tak ada tanda-tanda berduka seperti kebanyakan pemakan gaji syubhat lainnya.

Baca Juga :   Hati-hati, Sempat ada Longsor di Sekitar Air Terjun Madakaripura

“Sudah tidak ada lagi kiai yang nasionalis sekarang.” Gumam Ustadz Karimun, kuyu.

FB_IMG_1489646446072

“Sekali lagi kita menjadi yatim. Tak punya ndel-ndelan kalau ada orang punya niat kurang baik terhadap NKRI. Dulu orang segan mau macam-macam secara terang-terangan. Dulu kita punya tempat bertanya jika ada yang menuduh kita syirik, bid’ah atau kafir karena ziarah ke makam para wali. Dulu, tak semua orang berani maiduh Pancasila, NKRI dan merencanakan makar terhadap bangsa ini. Sekarang, siapa lagi yang ditakuti.” Warung syhadu dan berduka. Para pemain sekak dan domino sungkan hendak cekakaan. Merah Putih masih berkibar setengah tiang di depan rumah –mertua—Firman Murtado, jika ada yang gembira, melupakan pusing soal kreditan dengan cekakaan main karambol, bisa-bisa dicurigai tak punya hati.

Baca Juga :   Sita Ratusan Miras dan Amankan Penjual, Satpol PP Berharap Ada Perda yang Buat Jera

“Jarang ada kiai seperti ini. Kiai yang ahli kitab kuning sekaligus ahli diplomasi. Kiai sandaran umat sekaligus pejabat. Pemberi fatwa jelatah maupun pemerintah. Kiai yang akrab dengan sesama kiai sekaligus akrab dengan pastor, biksu atau rahib. Kecintaannya terhadap Islam, beliau tunjukkan dengan kebenaran bahwa Islam adalah rahmat bagi alam. Islam adalah gerbong, beliau adalah masinis yang lihai membaca watak zaman, kapan harus tancap gas dan kapan harus menginjak rem. Seandainya tak ada para sopir seperti beliau, sepertinya sudah lama kita terjun bebas ke jurang disintegrasi.” Firman Murtado berkaca-kaca. Entah karena memikirkan cicilan atau terenyuh dengan ucapan Ustadz Karimun.

“Beliau tak pernah lelah mengajari kita untuk selalu bersikap dewasa. Umat dimanfaatkan saat pemilu, umat dituduh syirik karena tak sepaham dengan sebuah golongan, bahkan beliau sendiri dituduh sebagai agen penyusup liberalisme, beliau hanya tersenyum.” Warung senyap. Orang menindah anak catur dan membanting kartu remi pun tak berani mengluarkan suara.

Baca Juga :   Nyalip Bus, Pengendara Motor Tewas Di Jalur Pantura

“Dengan kekuatan super karena jutaan anggota NU, sebenarnya bisa saja beliau menginstruksikan ini-itu untuk kepentingan sesaat atau membela diri ketika umat disakiti hatinya. Tapi beliau tidak adigung adiguno. Iklam bangsa panas, beliau menyiramnya dengan air mata atau pernyataan sikap yang teduh. Negara-negara asing menggertak, beliau membentak mereka hingga keder. Umat marah karena golongan-golongan tertentu ingin mengadu domba, beliau meredamnya. Pemerintah bingung oleh berbagai niat kurang baik, beliau menasehatinya. Jika sudah “bermikraj” begini, kepada siapa kita akan merengek, nggelandot, bermanja dan mengadu?” terdengar desah dan isakan kecil.