Tirakat Rejeb

1996

Sudah lama duduk di warung Cak Manap, Gus Hafidz belum juga pesan kopi. Biasanya srupat-sruput sambil ngudut, ini kok sepi? Kalah sungkan, Firman Murtado langsung memesankan kopi buat kiai idola rakyat jelata itu.

“Kopi hitam, Cak Manap!” katanya seperti gaya blantik motor.

“Belum habis kok pesan kopi lagi, ngelak ta?” kata Arif moyoki.

“Buat Gus Hafidz, bro.”

“Lho, saya prei, mas” sergah Gus Hafidz buru-buru.

“Puasa ta, gus?”

“Belajar” jawab Gus Hafidz merendah.

“Lho, Sabtu kok puasa, gus?” timpal Cak Manap seraya mengembalikan gelas ke anjang-anjang.

“He he, kita sudah masuk bulan Rejeb, Cak Manap.”

images (62)-650x400

“Waduh, saya belum nyaur puasa Ramadhan kemarin” timpal Firman Murtado reflek.

“Punya utang mokel berapa hari, Mas Firman?” gurau Gus Hafidz.

“Sehari gus, sakit gigi.”

“Gaya tok, mas. Sudah, ngaku saja. Sehari itu mokelnya apa puasanya?” gojlok Arif.

“Ngawur! Orang memang mencurigai saya sempel, Rif. Tapi saya ndak berani main-main kepada Gusti Allah.” Firman Murtado serius. Gus Hafidz hanya senyum-senyum menanggapi dagelan para “santrinya” itu. Bersama mereka memang hidup terasa lebih ringan meski terlanjur mereka tangisi saat dilahirkan.

“Begitulah Cak Manap, karena bulan Rejeb tidak ada hubungannya dengan debt colletor, kita sampai lupa.” Seisi warung tersenyum kecut diam-diam.

“O iya gus, mumpung mbahas bulan Rejeb, apa sih istimewanya kok sampai ada pujian di langgar-langgar, minta diberkahi di bulan Rejeb dan Sya’ban? Kalau Ramadhan kan sudah jelas?” tanya Cak Manap serius.

“Wah, kalau bicara bulan Rejeb, sampai Subuh besok ndak selesai, cak.”

“Inti-intinya saja, gus. Saya juga pingin tahu.”

Gus Hafidz langsung membuka HP-nya. Membuka aplikasi kitab kuning yang –sepertinya—berisi ratusan kitab itu.

“Tak bacakan ya? Sebagian saja.” Ck ck ck, mantab benar kiai modern ini. Diam-diam suka ikut  nongkrong di warung kopi, ternyata ini tujuannya? Jemput bola, pengajian di warung karena langgar selalu sepi saat pengajian rutin. Strategi dakwahnya mirip Wali Songo, door to door dan tidak menjastifikasi. Tidak ada acara teriak Allahu Akbar lalu menakut-nakuti orang. Saat semuanya terlihat siap menyimak, Gus Hafidz mulai membaca kitab di HP-nya.

“Barang siapa yang berpuasa tiga hari di bulan Rejeb, maka dilindungi dari setiap balak dunia dan siksa ahirat. Selamat dari penyakit gila, lepra dan vertiligo.”

“Mas, cepetan puasa Rejeb, biar penyakit sempel sampeyan sembuh, atau paling tidak turun stadium.” Ujar Arif kepada Firman Murtado.

“Raimu!” Firman Murtado nggraut wajah Arif yang ngakak tak selesai-selesai.

“Lanjut, gus” interupsi Cak Manap.

“Barang siapa yang puasa tujuh hari—di bulan Rejeb—ditutup tujuh pintu neraka Jahannam baginya.”

“Lha, itu buat kamu” balas Firman Murtado kepada Arif.

“Barang siapa yang puasa sepuluh hari, takkan ditolak doanya. Barang siapa yang puasa lima belas hari, diampuni dosanya dan digantikan dengan kebaikan.”

“Ck ck ck, begitu ya?” gumam Cak Manap.

“Puasa di hari pertama bulan Rejeb, bisa menebus dosa tiga tahun. Puasa hari kedua menebus dosa dua tahun, dan puasa di hari ketiga, menebus dosa setahun.”

“Benar ta, gus?” Arif sangsi.

“Benar, wong ini hadits Nabi.”

“Lanjut, gus” pinta Cak Manap.

“Setiap manusia merasa lapar pada hari kiamat, kecuali para Nabi dan keluarganya serta orang yang berpuasa pada bulan Rejeb.”

“Suatu hari Kanjeng Nabi berjalan di dekat sebuah kuburan. Beliau tiba-tiba menangis mendengar ahli kubur itu disiksa. Lalu beliau bersabda ‘Seandainya mereka berpuasa pada bulan Rojab dan qiyamul lail pada malam harinya, mereka takkan diadzab di kuburnya’. Nabi menegaskan jika puasa bulan Rejeb dan qilamul lail di dalamnya, bisa menolak siksa kubur.”