Jenang Abang Kelulusan

3394

Begitu Gus Hafidz duduk di lincak warung, Cak Manap langsung mengeluarkan beberapa piring Jenang Abang.

“Mohon barokah fatehah, gus. Anak saya selesai ujian nasional. Saya selameti Jenang Abang sebagai rasa syukur. Dan semoga segera dapat pekerjaan” kata Cak Manap. Gus Hafidz mematikan rokoknya, siap-siap membaca fatihah seperti permintaan Cak Manap. Tapi Firman Murtado langsung interupsi.

“Sik cak, salah ini!” katanya.

“Maksudnya?”

“Selametannya salah. Kalau judulnya tahlilan dalam rangka bela sungkawa , ndak apa-apa.” Cak Manap yang tak pernah marah, mbrabak abang wajahnya.

“Saya tersinggug Mas Firman Murtado. Wong niat saya baik, kenapa sampeyan protes? Sampeyan menuduh saya pelaku bid’ah?”

“Ndak ada sangkut pautnya dengan bid’ah, cak. Tapi selametan sampeyan ini salah tempat”

“Salah tempat bagaimana?” Cak Manap muntap.

images (83)-650x500

“Selesai ujian nasional kok selametan tasyakuran? Harusnya berbela sungkawa.”

“Lho, sampeyan ini mabuk kecubung ya? Lha wong selesai ujian kelulusan setelah belasan tahun sekolah, tasyakuran kok malah disalahkan?”

Baca Juga :   Pelaku Begal yang Tewas Dimassa Warga Nguling Berasal dari Probolinggo

“Aku punya alasan, cak.”

“Alah, alasan tembelek. Sampeyan ini, kalau mau ngisruh jangan sama rakyat kecil seperti saya. Kalau berani, sana, kisruh para pejabat yang ndak pokro itu. Kalau mau ngisruh, kisruh para pegawai yang suka nongkrong di warung saat jam kantor dan suka pungli itu. Kisruh juga pembalak hutan, penambang perusak lingkungan atau orang Korea yang membuang limbah pabriknya ke suangai sehingga tambak hancur, petani dan nelayan njerit karena ikan almarhum.”

“Jangan ngamuk dulu, cak.  Saya kasihan sampeyan karena sampeyan ini nyelameti hal yang seharusnya ditangisi.”

“Ngawur.”

“Anak sampeyan itu memang sudah lulus SMA, tapi itu artinya dia akan menjadi calon pengangguran.” Cak Manap meneng cep! Tolah-toleh sama Gus Hafidz, Ustadz Karimun dan menatap Arif yang bertahun-tahun lontang-lantung dan status kemahasiwaannya ndak jelas. Terahir ia menatap Firman Murtado yang –nuwun sewu—sarjana tapi hanya jadi kembange embong.

Baca Juga :   Dishub Jatim Amankan Bus Pariwisata Tak Laik Jalan

“Apa benar, gus?” tanya Cak Manap kepada Gus Hafidz.

“Sepertinya ada benarnya juga, cak. Tapi Gusti Allah itu loman, asal tawakkal insya Allah ada jalan.” Jawab Gus Hafidz. Cak Manap pucet.

“Kalau ndak percaya, bawa sini Hendri, anak sampeyan itu” tantang Firman Murtado.

“Sini, le” panggil Firman Murtado.

“Ada apa lik”

“Sini, duduk. Aku pingin ngobrol.”

“Sik, lik. Nanggung, game saya mau naik level” katanya masih melototi HP-nya. Entah apa dosa Cak Manap. Wong sudah bersih rejeki yang disuapkan, kenapa kok anaknya seperti anak DPR?

“Sudah selesai Ujian Nasional, ya le?” tanya Firman Murtado.

“Ya, lik.”

“Gimana?”

“Apanya, lik.”

“Lancar ujiannya?”

“Ndak tahu, lik. Wong tinggal oret-oret LJK, kok”

“Lha masa ndak mikir blas, ndak milih jawaban yang paling benar?”

“Kata kepala sekolah pasti lulus, kok, lik. Tiap pagi diberi “kunci T”, lapo mau ruwet-ruwet?”

Baca Juga :   Gandengan Lepas, Truk Gandeng Sasak Pengendara Motor

“Oo, begitu ya?”

“He em” dari tadi Hendri masih menatap HP-nya, menjawab obrolan Firman Murtado seraya main game, kadang ia misuh juga.

“Setelah lulus ke mana rencanya, le?”

“Kerja, lik.”

“Kerja apa kira-kira?”

“Ngelamar ke PIER sana, lik.”

“Lho, ndak kuliah?”

“Buat apa kuliah, lik. Nanti lulus ya nganggur.” Dalam hati Firman Murtado misuh. Memang benar ucapan nyambek kecil anak Cak Manap itu. Toh dirinya juga hanya jadi pekerja rodi setelah jadi sarjana. Sok pahlawan mencerdaskan bangsa sekaligus memperkaya pemilik PT. Lembaga Pendidikan.

“Tapi sekarang angel masuk pabrik, le. Tesnya rumit, outsourching dan saingannya banyak.” Hendri diam. Sepertinya ia juga pernah mendengar kalau cari kerja itu ndak gampang. Maka, Firman Murtado punya kesempatan untuk mengadili generasi penerus bangsa itu. Sekaligus membuktikan ucapannya di hadapan para hadirin selametan Jenang Abang.