Tunjangan Perangkat Mundak

1205

Setiap orang yang mendapat nikmat itu pasti aka nada yang iri, kata Kanjeng Nabi. Duduk di warung saja, orang suka rasan-rasan kalau ada orang ndak ganteng gocengan sama istrinya yang kinyis-kinyis. Di sosial media juga begitu. Kalau ada orang cantik foto sama suaminya yang “kalah rupo tapi menang bondo”, para netizen akan ramai-ramai mem-bully alias ngerasani.

Kepala Desa, Carik dan para perangkat desa ya begitu. Karena tunjangannya akan dinaikkan, orang ribut di warung.

“Awas kalau masih ada pungli, tak sawuri lemah kuburan” omel Firman Murtado.

“Wuik, sadis temen?” jawab Cak Manap.

“Lha yo opo? Wong balai desa mirip maskas londo? Sepi sepanjang tahun? Mau minta surat ini-itu selesai dua tahun. Pas sudah jadi, urusan sudah kadeluarsa?” timpal Firman Murtado.

“Justru dimundakno tunjangannya itu biar kinerjanya membaik, mas” sela Mas Bambang.

PicsArt_05-18-07.47.12

“Halah, pret, Mas Bambang. Dulu sebelum ada dana desa, PNPM dan dana-dana yang bisa dimakelari lainnya sudah begitu. Ada tunjangan, pelatihan dan pecaton yang bisa dikongkalikong ya tetap begitu. Setiap hari piketnya bukan di balai desa, tapi di warung rondo.”

Baca Juga :   Perda terkait Retribusi Makam Estate masih Disusun

“Jangan maiduh dulu, lah, mas. Kita lihat dulu kinerja mereka setelah tunjangannya diundakno nanti.”

“Kalau taruhan ndak haram, saya wani taruhan ketokan driji akan tetap seperti itu. Saya ini korban langganan. Setiap kali ngurus ini –itu ke balai desa selalu ketemu gondoruwo.”

“Ya salah kita sendiri pas pilkades dulu. Siapa suruh nyoblos yang bagi-bagi beras? Sekarang jangan maiduh, jangan ngersulo kalau pilihan kita salah.” Arif ikut nimbrung.

“Lho, yang kita pilih kan cuma kepala desa?” Cak Manap heran.

“Yang jadi perangkat desa kan tim suksesnya?”

“Iya, ya?”

“Makanya ke depan, kalau ada kampanye pilkades itu kita jangan goblok lagi. Bukan hanya pilkades, pemilu apa saja jangan mau diplokoto. Hanya diberi kaos, stiker, bensin, sudah dicoblos. Kalau kita serius mencoblos mereka hanya gara-gara diberi uang 50 ribu, berarti murah benar tarif sewa desa kita selama satu periode kepemimpinannya. Pecaton saja berapa hasilnya? Mbati proyek paving? Menernak uang PNPM? Mbati dana desa? Mbati proyek pelatihan? Kalau kita pilih kepala desa dan perangkat yang begini-begini saja, sama saja kita merestui program plokotoisasi rakyat desa. Makanya sekolah itu penting. Kalau kita sekolah dulu serius, kita akan mencep kalau ada orang mau calon kades tiba-tiba membelikan spiker langgar, membelikan seragam hansip apalagi hanya mayoran sego jagung. Kita terima saja program serangan fajarnya, tapi soal coblos sesuaikan hati nurani, meski selalu ndak nemu calon yang pas.” Ujar Firman Murtado panjang lebar.

Baca Juga :   Gizi Buruk "Hantui" Kota Pasuruan

“Lha terus, ini kan sudah kadung jadi kepala desa dan perangkat, bagaimana?”

“Kita awasi terus. Ndak beres, ribut” timpal Arif.

“Lho, kan sudah ada BPD, pendamping desa dan lainnya?”

“Wkkkk, lembaga-lembaga entek-enteki anggaran begitu, satu paket, cak.”

“Masa ndak onok kanggone?”

“Ya ada, sebagai jangkep-jangkep pengeluaran anggaran.”

“Sik talah, ini solusinya bagaimana, kok maiduh terus?” lerai Mas Bambang.

“Mungkin begini….” Ujar Firman Murtado. “Kalau ada pilkades lagi, kita bikin MOU agar kades terpilih dan jajarannya dilarang ngelompro pada jam kerja.”

“Lha kalau misalnya pas nyensus?”

“Halah, sensus rondo. Masa sensus kok sepanjang tahun, dan yang disensus cuma rondo-rondo bohai saja. Sama-sama rondo, yang sudah kisut kurang diwawuh.”

Baca Juga :   Gerhana Bulan, BMKG Himbau Warga Pesisir Waspada

“Jadi bagaimana?” tanya Wak Takrip.

“Begini, wak. Kalau kita dipulosoro pas ngurusi ini-itu, pelayanan lambat apalagi balai desa selalu sepi, kita sawuri lemah kuburan mbun-mbunane, biar kapok.”