Mahal di Pasaran, Petani Garam Probolinggo Justru Terancam Gulung Tikar

1143

Probolinggo (wartabromo.com) – Meski harga garam mahal dan langka di pasaran, namun berkah tersebut ternyata tidak berpihak kepada para petani garam. Pasalnya, cuaca buruk berkepanjangan, membuat petani garam di Kabupaten Probolinggo mengakibatkan gagal panen.

Gagal panen ini terpantau di empat sentra penghasil garam di Kabupaten Probolinggo, yakni Kecamatan Gending, Pajarakan, Kraksaan dan Paiton.

Empat kecamatan ini berada di pesisir utara. Dimana dalam dua bulan terakhir, mengalami gagal panen setelah diterjang cuaca buruk.

Kondisi tersebut berupa cuaca panas yang tidak mendukung, sehingga petani garam tidak bisa berproduksi secara maksimal dan menyebabkan gagal panen hingga terancam gulung tikar.

Satu diantaranya terlihat pada petani garam di Desa Curah Sawo, Kecamatan Gending, Probolinggo.

Baca Juga :   Komunitas Honda CB150R StreetFire Jawa Timur Touring Kemerdekaan ke Bromo

Biasanya, dalam satu hektar lahan tambak garam mampu menghasilkan 30 ton. Namun kini, hanya mendapatkan 5 ton saja sekali panen.

“Kami tidak bisa panen seperti tahun lalu. Terutama setelah dilanda cuaca buruk atau hujan yang masih saja turun,” ujar Haryanto, petani garam asal Desa Curah Sawo, Kamis (19/7/2017) siang.

Minimnya hasil panen, ternyata berimbas pada harga garam krosok di pasaran yang lambat laut terus mengalami kenaikan secara signifikan.

Pada musim panen garam tahun lalu, harga garam berkisar diantara Rp. 300 sampai Rp 400 per kilogram.

Namun, saat ini, petani harus menyesuaikan dengan melepas harga garam krosok hingga mencapai Rp. 3.000 per kilogram.

Baca Juga :   Bocah Perempuan Pengidap Hidrosefalus Butuh Uluran Tangan

Meskipun demikian, harga tinggi yang dipatok tersebut tetap tidak mampu meningkatkan hasil, karena produksi garam justru mengalami penurunan tajam.

“Ya bagaimana mau dapat untung, kalau hasil panennya turun drastis,” tambah Haryanto.

Menurut Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Probolinggo, Dedy Isfandi, gagal panen ini diantaranya disebabkan oleh media tanam yang digunakan oleh petani garam yang dinilai masih tradisional, dengan cara pengeringan air laut pada tanah secara langsung.

“Ini berbeda dengan petani garam yang lebih modern. Mereka menggunakan media terpal atau tehnik geo membran untuk mengeringkan air laut. Sehingga, mereka bisa memproduksi garam meski dalam kondisi cuaca tak bersahabat. Karena daya keringnya lebih cepat,” tutur Dedy. (lai/saw)