Posisi Arogansi Bisa Dari Golongan Profesi

1182
“Asia Sentinel tidak malu. Untuk minta maaf. Pada ‘korban’ tulisannya. Kali ini pada Presiden SBY. Juga pada Partai Demokrat.”

Oleh: Dahlan Iskan 

Inilah pelajaran dari Asia Sentinel. Untuk profesi wartawan. Atau profesi apa pun.

Asia Sentinel tidak malu. Untuk minta maaf. Pada ‘korban’ tulisannya. Kali ini pada Presiden SBY. Juga pada Partai Demokrat.

Padahal Asia Sentinel belum tentu bersalah. Secara hukum. Tapi ia mengaku bersalah. Secara praktik jurnalistiknya.

Yang dilanggar adalah kode etik jurnalistik: tidak cover both side. Jadinya tidak imbang. Yakni tidak mewawancari SBY atau Partai Demokrat. Yang dalam tulisan itu sangat dipojokkan.

Sumber tulisan itu sebenarnya jelas: berkas gugatan perdata. Berkasnya ada. Penggugatnya ada.

Wartawan umumnya punya hubungan dekat dengan pengacara. Pengacara adalah sumber berita yang tidak habis-habisnya.

Wartawan sering memanfaatkan pengacara. Untuk menggali banyak berita.  Pengacara sering memanfaatkan wartawan. Untuk kepentingan kliennya.

Baca Juga :   Hutan Bukit Bentar Sengaja Dibakar, Warga Panik

Kadang memang saling memanfaatkan.

Tinggal pinter-pinteran. Siapa yang lebih memanfaatkan siapa. Dengan tujuan apa.

Wartawan juga bisa menilai. Pengacara yang mana yang idealismenya tinggi. Berjuang tidak hanya untuk kliennya. Juga sekalian memanfaatkan kliennya sebagai alat penegakkan hukum. Menegakkan kebenaran. Menegakkan keadilan.

Wartawan, dalam hati mereka, juga punya daftar: pengacara mana komersial murni.

Sama seperti pengacara, wartawan punya idealisme. Menegakkan hukum. Menegakkan kebenaran. Menegakkan keadilan.

Kadang memanfaatkan pengacara untuk tujuan idealismenya itu.

Saya yakin Asia Sentinel tidak sembarangan. Bahwa tidak punya kantor tidak bisa dibilang ecek-ecek. Zaman sekarang tidak perlu kantor. Apalagi Asia Sentinel adalah media online.

Saya bisa membaca jalan pikiran wartawan sesenior Berthelsen. Pimred Asia Sentinel. Yang hebat itu.

Baca Juga :   Istri Hamil Tua, Pria Ini Gasak Anak Tetangga

[Baca juga : Bank Century lagi Hidup Mati]

Gugatan Weston International Capital Limited. itu bukan gugatan sengketa biasa. Antar dua pihak.

Gugatan itu mengandung nilai-nilai idealisme: mengungkapan  korupsi.

Mungkin si penggugat memang memanfaatkan aspek idealisme itu. Sebagai daya tarik bagi wartawan.

Karena itu Asia Sentinel tidak minta maaf atas kontennya. Tapi minta maaf karena tidak benar dalam praktek jurnalistiknya.

Yakni mengutip begitu saja isi gugatan. Tanpa minta komentar pihak yang digugat.

Asia Sentinel mengaku: itu praktik itu tidak benar.

Pembaca tidak diberi pandangan dari sisi yang digugat.

Ini melanggar kode etik jurnalistik. Meski belum tentu melanggar hukum.

Banyak wartawan yang menganggap pelanggaran kode etik tidak bahaya. Karena tidak ada resiko hukum. Wartawan lebih takut kalau tulisannya melanggar hukum.

Dalam praktek jurnalistik ada tulisan yang melanggar hukum.  Sekaligus melanggar kode etik.

Baca Juga :   PN Jakpus Tolak Gugatan SPRI dan PPWI ke Dewan Pers

Ada tulisan yang melanggar kode etik. Tapi tidak melanggar hukum.

Yang melanggar hukum umumnya pasti melanggar kode etik. Yang melanggar kode etik belum tentu melanggar hukum.

Bagi wartawan profesional, melanggar kode etik sama takutnya dengan melanggar hukum.

Tapi terlalu banyak wartawan yang berani melanggar kode etik. Mentang-mentang tidak ada hukumannya.

Hukuman bagi seorang wartawan yang melanggar kode etik adalah moral. Saya sering menyebutkan wartawan yang melanggar kode etik harus dihukum dengan gelar kurang ajar.

Saya pernah cari terobosan. Bagaimana wartawan yang melanggar kode etik bisa dihukum. Oleh perusahaannya.

Dan terobosan ini sudah saya terapkan: lewat peraturan perusahaan.

Dalam peraturan perusahaan media saya dulu, saya cantumkan satu pasal: wartawan tidak boleh melanggar kode etik.