Memburu Gengsi demi Harga Diri di Hari Nan Fitri

824
Foto ilustrasi: Gesang A Subagyo

Penjual batu akik banting setir menjual toples dan taplak meja, penjual ikan hias nyambi berjualan sandal dan baju anak-anak. Penjual ideologi, makin gawat menjual apa saja demi mempersiapkan pesta mahapora mempertaruhkan prestise itu.

Menjelang lebaran, apapun biasanya serba baru. Hal-hal kasat mata sudah tentu baru. Cat tembok, kelambu, toples, keramik rumah, apalagi baju lebaran. Bahkan kadang kita memperbarui barang-barang yang sama sekali luput dari pameran lebaran seperti keset, taplak meja setrikaan, sikat WC hingga keranjang sampah kamar mandi.

Maka, setiap orang yang punya akal dan mengerti harga diri akan ngebut mencari uang untuk membiayai lebaran. Dan jauh-jauh hari sebelum lebaran dilangsungkan, orang yang sudah punya celengan, mendapat arisan atau warisan, sudah mulai belanja macam-macam. Kalaupun mentok tak punya uang, diupayakan banting tulang cari utangan.

Jalan Niaga sebagai pusat segala hal, mulai saat ini sudah macet dipenuhi orang menjual sekaligus membeli sesuatu. Toko-toko pakaian kulakan barang hingga puluhan kali untuk meladeni kebutuhan pesta ini. Dan itu akan berlangsung hingga malam takbiran.

Baca Juga :   Pohon Tumbang di Jalur Tosari-Wonokitri

Tacik dan Koh sampai sumuk menghitung keuntungan. Metingkrang di atas kursi tinggi di tokonya seraya kipas-kipas dan sesekali menghardik pramuniaga yang kurang cak-cek.

Oyek dan Habib sampai tak sempat tarawih meladeni orang beli sarung, mukenah, baju takwa, minyak wangi, sajadah bahkan pacar kuku. Sementara Yu Maryam, Cak Kasan, Wak Takrip dan Cak Dullah, angop-angop di trotoar menunggu pelanggan.

Yu Maryam menjual rengginang dan brondong jagung dekat gang makam Mbah Hamid. Cak Kasan jual mainan anak-anak depan Pasific. Wak Takrib mbecak. Dan Cak Dullah thowaf jual jajan pukis.

“Sebenarnya kota ini milik siapa, sih?” gumam Firman Murtadlo di warung kopi Bang Udin depan SDN Bangilan.

“Lha ya, saya sendiri juga bingung.” Timpal Ustadz Karimun yang baru turun tarawih di masjid Al Anwar.

“Apa karena kita termakan oleh provokasi Londo yang menggembar-gemborkan hadits Ad dunya sijnul mu’minin wa jannatul kafir, dunia ini penjara bagi mukmin dan sorga bagi nonmuslim, secara serampangan?”

Baca Juga :   2 Pekerja Tertimbun Longsoran Ditemukan Tewas

“Hmm, hadits itu, perlu penafsiran panjang, cak. Lha habib dan oyek yang muslim juga bisa berjaya, kok?” timpal Ustdz Karimun.

“Yang salah itu pola pikir kita, orang Jawa. Orang jawa itu cepat puas, sudah bisa mengkredit motor saja merasa cita-citanya sudah selesai. Anak-anaknya sudah tidak perlu serius sekolah apalagi mengaji. Orang Jawa, kalau orang tua sukses anaknya dimanja seperti anak raja Majapahit. Maka ketika orang tua sudah wafat, anak yang suka hura-hura dan memang dididik seperti itu, pasti akan kolaps sehingga kejayaan takkan bisa bertahan.”

“Orang Jawa terlalu percaya kepada Londo yang nggedabrus, dibohongi alon-alon sukur kelakon, biar lambat asal selamat dan tak ada rotan akar pun jadi malah percaya. Makanya, qona’ah kita sering salah pasang. Antara neriman dan malas jadi rancu dan giat bekerja seringkali dianggap kedunyan alias hubbud dunya, alias matre. Repot. Padahal Kanjeng Nabi tidak pernah mencela orang kaya, malah menegaskan jika baik dan kuatnya umat ini karena ilmu dan harta. Lha kita, belum kaya sekolah sudah malas, kuliah hanya hura-hura, kalau terpaksa mendapatkan kejayaan pun, agenda pertama hidup kita adalah hura-hura dan wayuh.”

Baca Juga :   Pria asal Gempol Umpankan Istri untuk Memeras

“Satu lagi kesalahan fatal kita. Orang Jawa suka onani kalau berbisnis. Tak pikir panjang dalam berdagang, suka nekat menyakiti hati pelanggan dan kurang menjaga kepercayaan. Yang namanya es degan itu ya seharusnya, es dicampur air degan dan serutan degan. Bukan es dicampur air kran dan pemanis buatan, lalu diberi satu dua helai serutan degan. Dan lagi, sepertinya saat menipu pelanggan kita tak merasa kedusan, mleroki pelanggan bisa jadi kepuasan, aji mumpung, harga kita naik- turunkan sesuai selera seakan kita berdagang hanya untuk hari ini saja. Mumpung jual kacang di alun-alun, mumpung pembelinya dari pelosok dan takkan ketemu lagi, kacang sisa kemarin masih kita jual.” Firman tengar-tenger mendengar tausiyah bisnis dari ustdaz multitalenta itu.