Malioboro Van Pasuruan

1027
Kalau dipikir-pikir, apa sih menariknya Malioboro yang terkenal itu? Para seniman sampai membuat lukisan, puisi, latar novel atau cerpen juga lagu tentangnya. Paling tidak Katon Bagaskara dan Doel Sumbang menggubah lagu tentang “kawasan kumuh” yang –di banyak kota—biasa diserbu pasukan penertib kota itu. Banyak wisatawan dari luar kota, luar pulau bahkan luar negeri yang rela datang jauh-jauh untuk sekedar ndodok di kawasan halal bagi PKL tersebut.
Konon Mas Bambang berhasil menawan hati istrinya setelah mentraktir sego kucing di sana. Dimakan sambil ndodok seraya mendengarkan lantunan keroncong-perkusi “musisi jalanan” yang tak jarang lebih bagus kualitasnya daripada band-band lebay yang alhamdulillah sekarang nggak payu.
Pertanyaan itu sudah bertahun-tahun ngendon di pikiran Firman Murtado. Ia berhayal tak perlu jauh-jauh kalau hanya kangen ingin menyantap Rondo Royal atau petakilan bersama para seniman, budayawan serta cerdik pandai lokal seraya nyeruput dawet. Firman Murtado sejak lama berhayal di kotanya ada pagelaran teater, reog, jaran kepang, jaran kencak apalagi sampai ludruk jalanan.
Tak usah muluk-muluk seperti di Broadway, karena Firman Murtado tak tahu dimana letaknya kota festival itu. Sejak lama Firman Murtado berhayal, tinggal jongkok kalau mau milih buku loakan. Tinggal nyawuk kalau ingin koleksi kerajinan alias souvenir. Tinggal parkir—tanpa diatur dan dimintai sedekah oleh tukang tata kendaraan—kalau ingin cari petromaks bekas, jam bandul, akik, keris atau minyak kadal Mesir yang membuat pemakainya jos gandos ibadah rutin malam Jum’at itu.

Setelah bertahun-tahun berhayal, rupanya Gusti Allah mengabulkan juga keinginan “aneh” mahluk senewen itu. Perlahan-lahan trotoar sepanjang jalan depan GOR menjadi Malioboro mini tempat rakyat melepas lelah. Ini patut disujud syukuri!
Bersama Arif, mahasiswa abadi yang bingung mencari ideologi itu, Firman Murtado biasa ngopi di sana.
“Sip, mantab! Semoga tak ada yang merusak sorga kecil ini.” Gumamnya.
“Betul, mas. Untuk sementara belum ada alasan untuk membuyarkan Malioboro Van Pasuruan ini. Mau bilang bikin macet, orang bisa lewat jalan Sunan Ampel atau jalur lingkar selatan di Krampyangan sana. Mau dibilang kurang strategis, ini jalur lambat, semua orang bisa jalan sambil tolah-toleh nyari sesuatu. Apalagi dekat hotel BJ. Perdana. Barangkali ada wisatawan luar kota atau bule yang kesasar ke sini nyari-nyari sesuatu.” Arif serius seperti Gie yang progresif itu.
“He he, canggih juga analisamu, Rif.”
 “Berkah petuah Mbah Gugel, mas.”
 “Ini harus kita kawal, Rif.” Kata Firman Murtado, seperti ketua dewan.
“Jangan sampai ada yang utek-utek. Sebab selain Gusti Allah tak punya bakat sama sekali untuk ngatur-ngatur lahan basah mencari rejeki. Paling tidak, terbukti berapa kali bapak-bapak melakukan rekayasa tata kota, ngobraki Pasar Poncol yang sejak dulu ketiban pulung tempat turunnya rejeki, malah sekarang begitu jadinya. Bang Kodir kesepian. Pasar Akik di Kebonagung bubar. Pasar, lokasinya sudah di-kun fayakun Gusti Allah. Kalau sebuah pasar sudah jadi pusat turunnya rejeki lalu manusia sok arif memindah lokasinya, insya Allah bisa amburadul. Pasar itu mistis. Kalau dipindah apalagi pemindahannya pakai niat buruk kongkalikong, akan kehilangan daya mistisnya. Sekali jadi pasar, mohon jangan dipindah, digusur, dirusak ekosistemnya baik oleh tikus curut besar, tanggung atau tikus curut kecil. Hawa dan daya lintriknya terhadap pembeli akan hilang.
“Dalam sejarah kan juga begitu ya? Makkah menjadi ramai itu kan bukan hasil rekayasa insinyur tata kota?” Arif nambahi.
“Sip. Hanya tinggal memoles pasar Ukaz yang jadi pusat segala hal itu. Awalnya hanya tempat transit, lalu para PKL Badui dan tengkulak Qurays menggelar lapak kecil-kecilan. Jual minyak, gaharu. Kemudian, karena peziarah Ka’bah makin ramai, lama-lama para supplier ikut-ikutan buka lapak. Lambat laut jadi pusat keramaian, sampai para sastrawan Jahiliyyah adu syair di sana hingga berabad kemudian. Makkah awalnya Brodway Arabiyah, dan kalau kita biarkan berjalan secara alami, trotoar GOR ini bisa menjadi Malioboro Van Pasuruan.” Firman Murtado memang jago kalau berhayal.
“Kalau trotoar GOR ini tidak diutek-utek, lama-lama bukan hanya penjual sempol yang buka lapak. Setiap orang bisa menjual apa saja. Kawan-kawan dari jalan Jawa bisa pameran parfum dan asesoris di sini. Kawan-kawan dari Mayangan bisa bawa sampel kerjinan logam. Dari Bukir bawa sampel Muebel. Bahkan saudara-saudara dari Kersikan bisa bawa salak pondoh dan sederek dari Lumbang bisa ngedrop duren.” Kata Firman.
“Kalau sudah begitu kita mau ngapain?” goda Arif.
 “Saya akan baca puisi atau main jaran kepang di sini.”
 “Oh ya, bagus mungkin ya kalau kawan-kawan perupa, sekali-sekali pameran terbuka di sini?” gumam Arif.
“Kalau sudah sampai begitu, saya akan tumpengan di makam Mbah Hamid. Idemu itu, insya Allah akan ikut membangun ahlakul karimah kita. Kalau masyarakat sudah menyukai puisi, lukisan, teater, lama-lama akan suka baca buku. Kalau sudah terlanjur coba-coba baca buku begitu, insya Allah balap liar, bacokan sak duluran dan pembegalan bisa sedikit berkurang.”
 “Tapi kalau kelak trotoar GOR ini sampai jadi Malioboro Van Pasuruan, bursa dagangan aneh-aneh perlu juga diwaspadai, mas.”
 “Misalnya?”
 “Misalnya ya, bursa kimcil, helm colongan, tembakau Brazil atau bursa NIP yang dirundingkan di salah satu warung angkringan.”
“Ah, kamu buruk sangka tok!”
“Lha saya kan penganut sampeyan?”
“Oke, kamu saksinya, ya? Hari ini juga saya rekomendasikan kepada panjenenganipun bapak yang berwenang untuk membiarkan trotoar ini berkembang secara alami menjadi Malioboro Van Pasuruan. Jangan sampai jual beli lahan dengan Kak Brodin atau siapa pun sebagai kavling njagrag kendaraan. Setiap jengkal bumi ini milik Gusti Allah, kok ada yang menyewakannya? Saya rekomendasikan juga agar pasukan penertib kota tidak ditugaskan di trotoar romantis ini.”
“Gwaya tok, caaaaak!”
Penulis : Abdur Rozaq/wartabromo