Tragedi Tahu Bulat

2776

“Itu bagi anak-anak yang saat sekolah serius, Rif. Tapi bagi mereka yang hanya rajin membolos, menelan pil buat kucing apalagi pernah njotosi guru, profesi yang cocok mungkin menjadi pengurus partai, bukan wiraswasta begitu.”

“Ah, sampeyan mas. Kok ndak omes temen sama anak-anak alay.”

“Lha bagaimana lagi, wong dieman ndak mau?”

“Lha menurut sampeyan, bagaimana cara menularkan semangat berwiraswasta seperti sedulur-sedulur penjual tahu bulat itu?”

“Sulit, Rif. Perlu adanya hidayah nasional untuk merubah mind set menjadi petarung begitu. Kita ini adalah bangsa yang suka mlungker di zona aman. Makanya, profesi idaman setiap manusia Indonesia adalah pegawai yang ada NIP nya. Aman dari pemecatan meski kerja sak enake dewe, ndak ada target, bisa ngopi atau ke swalayan kapan saja sementara bayaran rutin mundak. Tunjangan ini-itu, bahkan anak –istri yang ndak ikut “berkontribusi” apapu terhadap negara, kalau pilek dirawat negara. Mungkin, kita perlu gembar-gembor kalau wiraswasta itu asyik. Ndak dipisuhi keragan, targetnya hanya pada diri sendiri dan kalau untung, seratus persen kita kesak dewe.”

Baca Juga :   Penjual Bakso Gempol Diduga Meninggal Akibat 'Keslepek' Asap Kebakaran

“He he,benar mas. Saya lihat sampeyan saja, kalau buka lapak potong rambut sak enake dewe. Kalau ndak mood dan semangat ingin keluyuran sedang tinggi, sampeyan bisa tutup sak enake dewe.”

“Na, ini yang ndak benar. Jangan ditiru cara saya mengelola lapak cukur rambut. Sebab itu hanya kamuflase agar mertua ndak rutin “khotbah Jum’at” karena masih saja berperan sebagai semacam IMF. Kita tiru ekspansi tahu bulat itu. Ya kerja kerasnya, mental bajanya, ya berani resikonya.”

“Sayangnya satu, mas.”

“Apa?”

“Penyakit latah kita parah. Nanti, pasti semua orang akan ikut-ikut jual tahu bulat, sehingga kalau bangkrut, ya juga berjamaah.”

“Bangsa tukang bajak!”

Baca Juga :   Terduga Teroris M. Lutfianto Dimakamkan

Penulis : Abdur Rozaq (wartabromo)