Tak Punya Jembatan Penghubung, Pergi ke Sekolah Anak – Anak Gunung Wurung Bertaruh Nyawa

1639

Krejengan (wartabromo.com) – Potret buram dunia pendidikan dirasakan puluhan siswa di Kabupaten Probolinggo. Agar dapat menempuh pendidikan yang layak, puluhan siswa TK hingga SMA harus bertaruh nyawa agar bisa bersekolah. Mereka menerobos aliran sungai Rondoningo, karena tidak mempunyai jembatan penghubung antar desa.

Beginilah aktvitas sehari-hari, saat siswa-siswi dari Raudlatul Athfal (RA) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Islam, Dusun Gunung Wurung Desa Opo–opo, Kecamatan Krejengan, untuk bersekolah. Mereka berangkat dan pulang sekolah dengan menyeberangi daeah aliran Sungai Rondoninggo yang berada di kaki lereng Pegunungan Argopuro.

Selain harus mencopot sepatu dan menyingsing seragam, mereka harus bertaruh nyawa melawan derasnya arus. Sebagian siswa bahkan dibantu dan digendong oleh orang tua, agar bisa menyerangi sungai selebar 15 meter.

Baca Juga :   Putus Cinta, Pelajar MTs Pilih Akhiri Hidup

IMG-20170425-WA0151

 

“Tiap pagi lewat sini untuk sekolah. Nggak ada jembatan, takut kalau airnya besar. Kalau hujan ya libur sekolahnya,” tutur Mohamad Sukron, salah satu siswa, Selasa (25/4/2017).

Menerobos sungai menjadi satu-satunya cara karena kawasan tersebut tidak memiliki jembatan penghubung desa. Padahal lokasi sekolah dengan desa – desa terdekat dipisahkan sungai. Jika debit air sungai meningkat pasca hujan, mereka pun terpaksa bolos sekolah.

Ketiadaan infrastruktur jembatan, juga berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah. Banyak siswa yang datang terlambat,karena mereka kesulitan melawan derasnya arus sungai. “Kita gendong agar bisa nyebrang, kalau banjirnya sepaha masih bisa kita lawan, tapi kalau diatasnya nggak berani,” ungkap salah satu orang tua siswa, Hanimah.

Baca Juga :   Terjatuh Hindari Tabrakan dengan Mobil Boks, Remaja Asal Gempol Tewas di Kolong Tronton

Tidak hanya anak didik, ketiadaan jembatan penghubung juga dirasakan oleh warga pada umumnya. Akses transportasi antar desa tersendat, karena jika putar arah harus melewati persawahan dan memakan waktu lama. “Semua masyarakat Kampung Tegalan dan Kampung Kedung Miri, pasti lewat disana, karena memang tidak ada jalan lain,” kata Eko Samsul Bahri, Guru MI Nurul Islam.

Berbagai upaya telah dilakukan sekolah dan pihak desa agar pemerintah daerah membangun jembatan penghubung. Namun, hingga kini asa memiliki jembatan tak kunjung mereka rasakan. (saw/saw)