“Gus, bagimana hukumnya membiarkan ketidak adilan?” tanya Feri berapi-api kepada Gus Hafidz.
“Ya ndak ilok,” jawab Gus Hafidz spontan.
“Berarti kita harus berbuat sesuatu untuk membela saudara kita di Rakhine, Myanmar,” tegas Feri denga mata berbinar.
“Betul itu. Kita galang dana, kita kirim tenaga medis, bantuan pangan dan melobi PBB biar mereka turun tangan,” jelas Gus Hafidz.
“Lho, maksud saya, jihad fi sabililah, gus. Makanya sampeyan harus menetapkan Resolusi Jihad biar kami bisa berangkat!” desak Feri.
“Lho, lho. Maksud sampeyan jihad militer? Menambah daftar panjang tragedi kemanusiaan?”
“Lha saudara kita sudah didzalimi, gus? Bukankah tidak merasa sakit jika saudara kita didzalimi adalah pertanda iman kita cacat?”
“Lho, jihad itu ndak sesederhana itu pelaksanaannya, mas. Jihad itu multi dimensi dan luas cakupannya. Jihad militer itu pilihan paling ahir, paling darurat dan hanya untuk mempertahankan diri. Lha di sini adem ayem kita kok mau menyulut tragedi lagi?”
“Berarti kita hanya akan tinggal diam?”
“Ya ndak juga. Kita sudah berjihad diplomasi.”
“Kalau jihad diplomasi kita ndak direken?”
“Kita meminta PBB turun tangan.”
“Hmmm, PBB?” gumam Feri mencibir.
“Ini tragedi kemanusiaan, gus. Kita harus terjun langsung ke lapangan untuk menyelamatkan mereka!”
“Itu akan menambah panjang tragedi ini, mas.”
“Lha, masa kita akan terus njegideg, pura-pura ndak mendengar tangis mereka?”
“Mereka syahid. Ya! Insya Allah mereka syahid. Lagi pula kita ini bisa apa? Wong pemerintah sudah bersiplomasi, seluruh dunia juga sudah membantu. Lha kita mau bagaimana lagi?”
“Berarti iman kita ada kemungkinan cacat, gus.”
“Bisa jadi.”
“Sampeyan sudah pernah melihat bagaimana nasib mereka di internet?”
“Sudah”
Bagaimana?”
“Saya sedih, bahkan saya marah.” Gus Hafidz gemetar.
“Makanya saya tanya sekali lagi, apa yang akan kita lakukan?”
“Hanya satu, mas. Ngelus dada.”