Menyingkap Fenomena ‘Gunung Es’ Dibalik Penutupan Lokalisasi

2491

Persoalannya, usaha untuk membangun kesadaran itu terkendala dengan minimnya data pasti akan keberadaan PSK di daerah santri ini. Sebab, larangan kegiatan prostitusi menjadikan para PSK tersebar di balik bilik-bilik tempat kos, daripada terkonsentrasi di satu lokasi.

Meski begitu, hal itu bukan berarti tidak ada PSK yang memiliki kesadaran lebih akan kesehatan mereka. Beberapa PSK yang merupakan hasil migrasi dari lokalisasi yang sebelumnya ditutup, mengaku tetap memberikan perhatian pada kesehatan dirinya. Alasannya sederhana. Sebagai pekerja yang mengandalkan fisik, kesehatan dinilainya tetap menjadi yang utama.

“Kan kalau sakit, kita juga tidak bisa bekerja,” ujar LN, salah satu PSK asal Jawa Barat kepada wartabromo.com.

Karena itu, untuk memastikannya, ia pun memberlakukan prosedur ketat. Selain kontrol ke dokter seminggu sekali, ia senantiasa meminta tamunya untuk menggunakan alat pengaman saat berhubungan. Rewel, menolak, itu pasti. Tetapi, ia tidak ingin hanya demi rupiah, lantas kesehatan dirinya diabaikan. Risiko untuk tertular berbagai penyakit, lebih ia khawatirkan ketimbang uang segepok yang akan ia dapat.

Terpisah, Kepala Bidang Penanggulangan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, Agus Eko Iswahyudi, mengatakan, penanggulangan HIV-AIDS tetap menjadi salah satu program kerja prioritas tiap tahun. “Kami ada program, seperti penyuluhan-penyuluhan dan juga pendampingan,” katanya.
Menurut Agus, pendampingan dilakukan kepada mereka yang hasil pemeriksaan positif suspect HIV-AIDS. dan pembentukan kelompok-kelompok masyarakat sadar HIV-AIDS di masing-masing simpul kecamatan.

“Ada KPA dan juga organisasi kemasyarakatan yang kami libatkan,” katanya saat dihubungi melalui telepon selulernya, Kamis (31/5/2018).

Kelompok-kelompok masyarakat itu lah yang kemudian melakukan penyuluhan kepada mereka yang masuk dalam kategori risiko tinggi (risti).
Penuturan yang sama disampaikan Chusni Hartatik, pendampingi HIV-AIDS di kawasan Tretesm Prigen, Dikatakannya, memperjuangkan kesehatan bagi kalangan PSK di Tretes ibarat bekerja di dalam senyap. Betapa tidak, meski keberadaan mereka dinyatakan ilegal, nyatanya, aktivitas prostitusi di tempat ini tetap ada.
Tatik mengatakan, adanya larangan kegiatan prostitusi menjadikan penanganan kesehatan PSK tenggelam dibanding perdebatan mengenai legalitas mereka. Padahal, sebagai kelompok masyarakat dengan kategori risti, PSK menempati urutan tertinggi dalam penyebaran HIV-AIDS.

“Ini yang menjadi persoalan,” terangnya.

Karena itu, kendati tidak banyak mendapat dukungan, pihaknya secara konsisten melakukan penyuluhan. Setiap seminggu sekali, ia ia mengajak mereka untuk melakukan pemeriksaan ke Puskesmas. Dengan begitu, mereka yang berpotensi terpapar virus HIV-AIDS bisa diketahui sejak dini.

“Nah, kepada mereka yang diketahui positif, selanjutnya direkomendasikan untuk dilakukan pengobatan ke rumah sakit guna mendapatkan antivirusnya. Selain itu, mereka juga terus dalam pemantauan agar tidak menularkan ke yang lain,” jelas Tatik.

Dijelaskan Tatik, ada banyak faktor yang membuat upaya penanggulangan HIV-AIDS tidak berjalan maksimal. Salah satunya, kapasitas SDM para PSK yang kurang memadai. Utamanya dalam memahami persoalan HIV-AIDS dan juga penyakit menular lainnya. Hal ini yang pada akhirnya membuat mereka enggan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. (*)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.