Unicef Sebut Difteri di Indonesia Nyaris Tembus 1.000 Kasus

1006

Jember (wartabromo.com) – United Nations Children’s Fund (Unicef) perwakilan Pulau Jawa, menyebutkan difteri menghantui Indonesia. Tahun lalu hampir seribu kasus difteri di Indonesia, dengan 4,6% berujung kematian.

Hal itu terungkap dalam sebuah acara Focus Group Discussion (FGD), antara Perwakilan Unicef untuk Wilayah Pulau Jawa bersama awak media se tapal Kuda di Jember, Selasa (25/9/2018).

Dari data yang dimiliki badan dari PBB itu, Indonesia pada tahun 2017, terdapat 954 kasus difteri. Kasus itu menyebar di 170 kabupaten/kota di 30 provinsi. Dari jumlah kasus itu, sebanyak 44 orang diantaranya meninggal dunia. Angka kematian atau Case Fatality Rate (CFR) adalah 4,6% yang berarti dari 100 orang yang menderita penyakit difteri, terdapat 4-5 penderita yang meninggal.

Baca Juga :   Redam Konflik Intoleransi, Ratusan Pemuda Pasuruan Gelar Pawai Kebangsaan

Angka CFR nasional ini sedikit lebih rendah dari data angka CFR global yang dirilis WHO yaitu sekitar 5-10%.

“Masih banyak Masyarakat yang tidak tahu bahayanya difteri. Sebab itulah mereka meremehkan Imunisasi yang diselenggarakan Pemerintah,” kata Arie Rukmantara, Kepala Perwakilan Unicef untuk Wilayah Pulau Jawa.

Arie Rukmantara, berharap para jurnalis juga ambil bagian dalam menyadar-tahuan bahaya difteri kepada masyarakat. Salah satunya dengan menyebarluaskan pengetahuan manfaatnya imunisasi. Dijelaskan, imunisasi bermafaat dalam mencegah penyakit, seperti folio, campak, difteri, dan yang paling berbahaya yaitu rubela.

“Kesehatan merupakan aset paling mahal yang bisa dimiliki seseorang. Terkadang banyak yang lupa aset mahal itu harus benar-benar bisa dijaga. Ketika sakit, mereka baru menyadari betapa mahalnya harga sebuah kesehatan. Salah satu benteng paling kuat untuk dijadikan perisai kesehatan adalah imunisasi. Masih banyak masyarakat yang kurang menyadari terkait Difteri, sehingga masyarakat kurang memperhatikan imunisasi,” terangnya.

Baca Juga :   Mengenal Tradisi Unan-Unan Suku Tengger

Sementara itu, akademisi dari IAIN Jember, Abdul Haris, menuturkan bahwa dalam Islam semua bentuk bahaya yang mengancam jiwa manusia harus ditolak dan dihapuskan, bagaimanapun caranya. Untuk kepentingan menolak bahaya dalam konteks berobat, Islam merekomendasi penggunaan obat yang berkategori najis sekalipun ketika obat yang berkategori suci tidak diperoleh.

“Banyak beredar isu bahwa obat imunisasi ada sebagian yang menggunakan bahan yang najis, seperti minyak babi dan sebagainya, Obat-obat imunisasi tersebut selama masih bisa menggunakan bahan yang suci maka tidak akan menggunakan bahan yang najis, jadi masyarakat tak perlu khawatir,” tutur Dekan Usuluddin itu. (fng/saw)