Jatuh Bangun Batik Tulis Khas Lumajang

1728
“Yah beberapa orang bilang batik kami mahal, tidak seperti daerah ini lah, itulah. Mereka tidak paham proses mencanting hingga jadi kain ini.”

Laporan : Maya Rahma

BERAWAL dari pelatihan membuat batik tulis, Rahayu Ningsih memulai mengasah kelentikan jari pada kain. Meskipun cukup merogoh uang belanja, Ningsih tak pantang mundur menghasilkan karya dalam selembar batik tulis khas Lumajang.

Ketika masuk dalam sebuah ruangan khusus membatik, Wartabromo disuguhkan dengan pemandangan orang dengan selipan canting di sela jari. 2 ibu ini fokus menggambar dengan lelehan ‘malam’ pada selembar kain putih yang sudah bersketsa Gunung Semeru.

Sekilas nampak biasa, tidak ada yang spesial sampai saat kain tersebut dikaitkan ke sebuah kayu berbentuk persegi panjang. Rupanyanya kayu tersebut sebagai tempat untuk memberi warna pada kain itu, hingga membuat takjub si penglihat.

“Pelatihan dulu sejak 2014, saya tertarik, berlatih terus dengan beli kain. Itu pun tidak langsung jadi. Pernah dulu pas jadi, ditelpon penjahit, katanya kain saya jadi tepung. Rusak, tidak bisa dijahit,” cerita Ningsih.

Ibu ini pun akhirnya bisa mulai menghasilkan karya sejak 2015. Pesanan pun mulai berdatangan dari kenalan hingga wisatawan.

“Biasanya dapat order seragam, dari Dinas-dinas. Sebulan minimal orderan masuk ada 100 biji. Tapi pernah juga gak dapat order sama sekali. Sering juga ada turis kesini, minta ajarkan membatik dan beli hasil kami,” ujarnya kemudian.

Perjalanan Ningsih tak serta merta berjalan mulus. Selain cerita pengalamannya saat belajar mencanting dulu, perempuan yang tinggal di daerah Burno, Senduro ini kerap kali mendapat cemoohan.

Tak jauh-jauh, remehan ini sering kali diungkapkan oleh warga Lumajang sendiri. Batik tulisnya bahkan sering kali dibilang mahal dan dibandingkan dengan batik dari daerah lain.

“Padahal terkadang mereka membandingkan dengan batik printing. Beda, batik printing sama batik tulis. Mereka tidak paham proses mencanting hingga jadi kain ini, pewarnaan juga beberapa kami pakai yang alami,” tambah Ningsih sambil menunjuk kainnya.

Ningsih pun sempat berkunjung ke beberapa daerah untuk survey harga pasar. Hasilnya, harga untuk selembar kain di tempat tersebut, hampir sama dengan miliknya, bahkan lebih mahal.

Untuk selembar kain batik tulis milik Ningsih, harga yang dipatok mulai dari Rp 150 ribu-jutaan. Tergantung kesulitan motifnya. Sementara untuk batik cap, harga yang dipatok mulai Rp 80 ribuan. Lain lagi dengan batik tulis kombinasi batik cap.

Pemilik batik damaran ini berharap supaya banyak yang mau belajar untuk mencanting batik. Selain untuk mempertahankan khas lokal Indonesia, juga bisa menciptakan lapangan kerja baru.

“Kalau ada yang mau belajar batik, saya siap mengajarkan. Yang penting kemauannya dulu, jangan liat nominal. Apalagi sekarang saya fokus mengembangkan batik dengan filosofi. Jadi saya bikin batik ada ceritanya, tidak sekedar mengoleskan canting,” ujarnya lagi.

Berkat kegigihannya ini, batik Ningsih kerap kali dikunjungi para pejabat hingga Kementerian. Bahkan, wisatawan asing semakin sering berkunjung untuk belajar batik dan membeli kainnya.(*) 

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.