Tak satupun daerah yang nyaman dicap sebagai daerah termiskin. Sebaliknya, lebih senang dianggap makmur meski senyatanya berjibaku dengan kemiskinan.
Oleh M. Asad
KEMISKINAN acapkali dianggap sebagai aib. Karena itu, tidak mengherankan jika para pihak kerap dibuat kelabakan tatkala data kemiskinan muncul ke publik.
Bagi pemerintah, banyaknya angka kemiskinan, akan bisa dimaknai bahwa mereka tidak bekerja. Bayangkan bagaimana penilaian publik ketika angka kemiskinan dimaksud justru meningkat!
Karena itu pula, menjadi cukup beralasan ketika Pemkab Probolinggo begitu reaksioner tatkala narasi soal kemiskinan di wilayah setempat mencuat.
Bukannya melakukan evaluasi, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari bahkan terang-terangan menyalahkan pihak BPS (Badan Pusat Statistik), si sumber pemberi data.
Bupati menyebut ada kesalahan metodologi yang dilakukan BPS dalam menghitung angka kemiskinan di Kabupaten Probolinggo. Lebih jauh, pendekatan yang dilakukan BPS kurang komprehenaif dalam memotret kemiskinan di daerahnya.
Padahal, selama ini, BPS memang menjadi sumber utama, dinilai paling kompeten dibanding lembaga-lembaga statistik lain. Dengan kata lain, BPS adalah cukup punya kredibilitas. Baik secara kelembagaan maupun metodologi yang dipergunakan.
Pertanyaannya, apa yang mendasari Bupati Probolinggo “menolak” perangkingan daerah termiskin di Jawa Timur yang dirilis BPS itu?
Tak lain adalah klaim keberhasilan Bupati Tantri dalam menekan angka kemiskinan di wilayahnya dalam beberapa tahun terakhir. Dari yang semula sekitar 217 ribu (2018) menjadi 207 ribu (2019).
Klaim tersebut tidaklah salah. Merujuk data BPS, dalam kurun lima tahun terakhir, angka kemiskinan Kabupaten Probolinggo terus mengalami penurunan.
Misalnya, pada 2016, jumlah penduduk miskin tercatat mencapai 240 ribu orang atau 20, 98 persen dari jumlah penduduk. Kemudian, turun menjadi 236 ribu atau 20 52 persen pada 2017. Dan kembali turun pada 2018 dan 2019 menjadi 217 (18, 71 persen) dan 207 ribu (17, 76 persen).
Tetapi, Bupati Tantri seolah lupa bahwa program pengentasan kemiskinan yang dilakukannya tidak cukup untuk mengatrol posisi wilayahnya untuk keluar dari lima besar daerah termiskin di Jatim.
Kenapa bisa terjadi? Karena boleh jadi, saat Kabupaten Probolinggo berhasil menekan angka kemiskinannya satu digit, daerah lain justru sukses menekannga dua digit. Dengan kata lain, kinerja pengentasan kemiskinan Kabupaten Probolinggo, kalah efektif dengan daerah lain.
Inilah persoalannya. Bahwa Kabupaten Probolinggo berhasil menekan kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir memang iya. Tetapi, penurunan itu tak cukup membawa daerah ini keluar dari lima besar daerah termiskin di Jatim.
Urutan paling miskin diduki Kabupaten Sampang (20, 71 persen). Kemudian Sumenep (19, 48 persen), Bangkalan (18, 9 persen) dan Kabupaten Probolinggo (17, 76 persen). Kabupaten yang berada di urutan kelima mencatatkan kemiskinan sebesar (14, 56 persen).
Sederhananya, sah-sah saja jika Pemkab Probolinggo berbangga diri dengan capainnya menekan kemiskinan di wilayahnya. Tetapi, capaian itu menjadi “tidak berguna” ketika disandingkan dengan daerah lain yang jauh lebih berhasil mengentaskan warganya dari jurang kemiskinan.
Karena itu, memperdebatkan hasil rilis BPS tentu adalah sia-sia. Energi tersebut akan jauh lebih bermaanfaat untuk berikhtiar memperbaiki posisinya dalam perangkingan daerah termiskin di Jatim. (*)