Berikut Isi Pandangan Umum MPON di Kongres AJI XI

1109

Investigasinya adalah kerja-kerja jurnalistik, pilihan isu antikorupsinya adalah pilihan perspektif dalam konteks perjuangan demokrasi. Risiko yang diambil adalah militansi dan progresivitas anggota AJI. Maka dalam contoh liputan kolaborasi “Buku Merah” ini, kita menemukan tiga hal yang perlu ditularkan ke sebanyak mungkin anggota AJI, yaitu keterampilan jurnalistik, ketajaman perspektif, dan militansi.

Profesionalisme yang hanya dimaknai keterampilan teknis, nirperspektif dan nirmilitansi, bukan profesionalisme yang dicita-citakan oleh AJI.

Dalam konteks demikianlah kerja-kerja berat seperti sertifikasi jurnalis atau Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) harus dimaknai sebagai bagian dari membangun profesionalisme yang berperspektif dan militan. Tanpa itu, UKJ dan sertifikasi hanya akan menjebak AJI dalam formalitas yang tak berdampak apa pun terhadap kehidupan publik kecuali dunia profesi itu sendiri. Dan usaha ke arah itu masih minim karena AJI masih mengikuti metode UKJ yang sama walau bermuatan konten yang berbeda. Singkat kata, perspektif dan militansi tidak bisa dibangun melalui proses sertifikasi yang hanya tiga hari.

Padahal, profesi jurnalis sendiri sedang dipertanyakan relevansinya saat ini. Saat di mana media sosial telah memberi kekuatan warganet (netizen) menciptakan perbincangannya sendiri mengalahkan agenda editorial media, saat di mana big data, kecerdasan buatan, hingga learning machine akan menggantikan tugas-tugas riset yang tekun. Dan saat algoritma platform-platform raksasa dunialah yang sebenarnya menentukan apa itu laporan utama atau headline, bahkan mendikte secara tak langsung kata-kata apa yang harus kita tulis dalam judul agar ramah terhadap mesin pencari.

Apakah jurnalis masih cukup otonom dan independen dalam situasi ini?

Baca Juga :   Duet Sasmito - Ika Pimpin AJI Indonesia

Jika jurnalis hanya sekumpulan pekerja yang ditentukan oleh rumus-rumus search engine optimation (SEO), melayani trending topic, dan menulis ulang status narasumber di akun media sosialnya menjadi berita, maka Tripanji ketiga benar-benar dalam ancaman serius.

Kesejahteraan jurnalis akan semakin jauh dari harapan, sebab selain profesi ini sendiri sedang dipertanyakan relevansinya, juga dipertanyakan determinasi atau signifikansinya dalam memproduksi berita. Masihkah jurnalis mendefiniskan nilai berita atau news value melebihi SEO dan trending topic?

Posisi tawar jurnalis di mata perusahaan atau modal semakin lemah, karena ia lebih mudah digantikan oleh siapa saja, bahkan kelak oleh apa saja, seperti aplikasi berita warga yang terkurasi berbasis crowd sourcing.

Padahal Tripanji ketiga, yaitu kesejahteraan jurnalis, masih menghadapi beragam pekerjaan rumah klasik yang tak kalah serius seperti isu upah, serikat pekerja, diskriminasi gender, kontrak kontributor atau freelancer, hingga sengketa hubungan industrial.

Dua pukulan besar, yaitu problem klasik ketenagakerjaan dan ancaman terhadap profesi dari zaman internet booming inilah yang membuat perjuangan Tripanji yang ketiga semakin berat di masa depan. Ini belum menghitung pukulan ketiga berupa pandemi Covid-19 yang melemahkan media, organisasi, hingga ekonomi anggota.

Karena itu AJI perlu membuat rumusan dan terobosan sejarah, seperti halnya kita telah memulainya dengan gagasan jurnalis warga dan pers mahasiswa, meski hasilnya belum signifikan.

Dalam tiga tahun terakhir kepengurusan, bahkan sejak sebelumnya, AJI terus berusaha membaca zaman dan menerjemahkannya dalam berbagai program. Tapi kecepatan perubahan memerlukan strategi dan pemikiran yang lebih progresif agar kita bisa segera memulai dan tidak terlambat jika kelak waktunya tiba.