Bersedekah ke Laut

798
Sejumlah kapal nelayan yang mengikuti Larung sedekah laut di pesisir Pasuruan. Ft. Amal Taufik

“Bersedekah tidak hanya ke manusia. Ke hewan juga bersedekah. Kenapa kepala sapi? Karena kita ingin memberikan yang terbaik. Makanan yang terbaik. Dengan harapan kita nanti mendapatkan yang terbaik juga,”

Oleh: Amal Taufik

Minggu (14/08/2022) pagi pukul 08.00 WIB, Jalan Laks. R. E. Martadinata, Kelurahan Ngemplakrejo, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan, penuh manusia. Matahari sudah di atas kepala. Sepanjang jalan ke arah utara pedagang kaki lima menyemut di
pinggir kanan dan kiri jalan. Sejumlah polisi dan TNI juga tampak berjaga dan mengatur lalu lintas kendaraan.

Dari arah barat terdengar tabuhan drum band. Kirab budaya mulai berjalan iring-iringan. Barisan paling depan ada aksi dua barongsai yang diperankan empat bocah laki-laki. Lalu di belakangnya ada grup drum band. Lalu di belakang drum band ada empat orang memanggul seonggok kepala sapi

“Kepala sapi itu nanti dilarung di tengah laut,” kata Umar, warga setempat.

Kirab budaya itu berjalan ke arah panggung hiburan yang berada di ujung utara. Sesampainya di panggung, kepala sapi itu lantas diletakkan di sebuah meja sebelum kemudian diangkut ke atas rakit lalu dibawa ke tengah laut.

Kapal-kapal berukuran 12X2,5 meter milik warga yang parkir di pinggir sungai terlihat berbeda dari biasanya. Kapal-kapal itu sudah dihias dengan berbagai ornamen, mulai bendera, poster, hingga banner. Warga kemudian berbondong-bondong naik ke kapal. Satu kapal barangkali mengangkut lebih dari 30 orang.

Saya dan Umar nunut sekoci milik Sat Polairud Polres Pasuruan. Kami berangkat setelah rakit yang mengangkut ‘sesajen’ kepala sapi berangkat. Di belakang kami ada kurang lebih 100 perahu berjalan iring-iringan.

Baca Juga :   Unik! Inilah Asal Mula Lomba Bakiak yang Sampai Sekarang Ada Saat Agustusan

Anggota Sat Polairud, Aipda Tengger, bertanya kepada saya dan Umar ingin memotret dan mengamil video seperti apa. Saya bilang, kalau memungkinkan kami ingin mengambil pada waktu prosesi melarung kepala sapi ke laut dan melihat antusias warga usai melarung kepala sapi itu. Tengger tampak bimbang. Ia lalu menyampaikan bahwa situasi itu tidak memungkinkan.

“Setelah kepala sapi dilarung, kapal-kapal besar itu kemruyuk di tengah. Kalau kita di tengah juga, sekocinya bisa-bisa ditabrak,” katanya.

Apa yang disampaikan Tengger memang benar adanya. Sesampainya di tengah laut, kepala sapi yang dibawa rakit langsung dilarung. Setelah itu kapal-kapal besar langsung menuju ke tengah. Di sana terlihat beberapa penumpang kapal ada yang melompat ke laut, lalu menyiramkan air ke kapalnya.

Sementara itu, beberapa kapal patroli Sat Polairud menghindar dari kerumunan seremonial itu. Mereka memantau dan mengawasi kegiatan itu dari jarak yang aman. Tengger mengatakan, pada acara petik laut tahun-tahun sebelumnya, saking
ramainya, sampai pernah terjadi gesekan hingga tabrakan antar kapal.

“Terus ribut antar kapal. Kalau (kapal) punya kita ini kan bukan kayu bahannya. Nah jika ditabrak kapal kayu ya remuk seperti wafer,” selorohnya.

Salah satu pemuda setempat, Miftakhul Soleh membenarkan apa yang disampaikan Tengger. Keluarga Miftakhul memiliki kapal dan pada hari ini kapal keluarga Mifakhul juga ikut ke tengah laut. Tetapi, kata Miftakhul, biasanya kapal keluarganya tidak mau mendekat ke kerumunan.

“Itu yang dikhawatirkan. Kalau tabrakan, misalnya. Lalu ada yang rusak. Biaya untuk memperbaikinya lumayan,” ujar Miftakhul.

Baca Juga :   Haru, Ternyata Ini Asal Muasal Lomba Makan Kerupuk yang Diadakan Setiap Momen Kemerdekaan

Tradisi petik laut ini tidak hanya digelar oleh nelayan di pesisir Kota Pasuruan saja. Di pesisir daerah lain seperti di
Kabupaten Banyuwangi, Probolinggo, Situbondo, hingga Lamongan, tradisi petik laut juga digelar nelayan setiap tahun. Tentu dengan nilai dan makna yang berlaku di daerah masing-masing.

Tokoh masyarakat Ngemplakrejo, Abul Hayat menuturkan, tradisi petik laut sudah ada di Ngemplakrejo bahkan sebelum dia lahir. Sejak dulu tradisinya tidak pernah berubah. Mulai iring-iringan kapal ke tengah laut hingga melarung kepala sapi dan diakhiri acara hiburan rakyat.

Abul menyebut, apa yang dilakukan nelayan dalam tradisi petik laut ini adalah sebentuk ekspresi rasa syukur kepada Tuhan dan alam semesta. Laut telah memberi kehidupan kepada nelayan dan warga pesisir lainnya. Dan pada momen petik laut ini, sebaliknya, waktunya warga dan nelayan bersedekah kepada makhluk-makhluk hidup yang ada di laut.

“Bersedekah tidak hanya ke manusia. Ke hewan juga bersedekah. Kenapa kepala sapi? Karena kita ingin memberikan yang terbaik. Makanan yang terbaik. Dengan harapan kita nanti mendapatkan yang terbaik juga,” kata Abul.

Selain melarung kepala sapi, warga juga mengadakan selamatan sendiri di kapalnya masing-masing. Satu kapal berisi keluarga pemilik kapal dan keluarga anak buah kapal (ABK). Rombongan itu membawa berbagai makanan dari darat, lalu sesampainya di laut, mereka berdoa dan ditutup makan bersama-sama.

Abul menepis jika ada anggapan yang menyebut bahwa tradisi petik laut seolah memercayai ada sesuatu hal lain selain Tuhan yang ‘menunggu’ laut hingga dikultuskan dan dipercaya oleh masyarakat, sampai-sampai perlu diberi ‘makanan’ atau semacam ‘tumbal’ setiap tahunnya. Baginya, tradisi petik laut tak lebih dari bagian dari budaya masyarakat pesisir.

Baca Juga :   Diamuk Ombak, Pembatas Laut hingga Rumah Warga di Lekok Kemasukan Air Laut

“Sama seperti orang kota kalau keluar rumah merasa lebih aman dengan bawa kartu ATM. Tapi apakah rezeki itu dari kartu ATM? Kan tetap dari Tuhan. Petik laut juga sama. Ini tradisi dan budaya turun-temurun sejak dulu,” ujar Abul.

Bulan Muharram menjadi bulan dalam kalender Islam yang dipilih warga untuk menggelar petik laut. Menurut Abul, Muharram adalah bulan ‘sakral’. Banyak peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi di bulan ini seperti kisah Nabi Ibrahim yang dibakar Namrud, lalu kisah selamatnya kapal Nabi Nuh dari banjir besar, dan kisah-kisah lainnya.

Abul mengaku, sejak dulu acara petik laut di Ngemplakrejo selalu digelar di bulan Muharram. Barulah pada beberapa tahun yang lalu, Pemkot Pasuruan berinisiatif menggelar acara petik laut dengan menggabungkannya bersama momen hari jadi Kota Pasuruan. Dan demikianlah, sebelum pandemi Covid-19, acara petik laut sempat digelar bersamaan dengan rangkaian acara hari jadi Kota Pasuruan.

Lalu pada tahun 2022 ini, setelah ditiadakan selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, petik laut kembali digelar di bulan Muharram. Abul mengaku, masyarakat sangat antusias untuk terlibat dan berpartisipasi. Seluruh rangkaian acara,
mulai panitia hingga pembiayaan, dilakukan oleh warga secara swadaya, tanpa ada bantuan dari Pemkot Pasuruan.

“Harapan kami pemerintah nantinya bisa mendukung budaya-budaya yang seperti ini,” pungkas Abul.