Tata Kelola Air Harus Berbasis Pelestarian Ekosistem, sebuah Pesan untuk WWF-10

60
Gerai pengisian bahan bakar umum di Desa Kedawung Kulon yang ikut tergenang banjir, Sabtu (11/2/2023). Foto: Romadoni.

Oleh: Antony Sofyan

AIR berperan penting bagi kehidupan di bumi. Saking pentingnya, tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang bisa hidup tanpa air.

Begitu pentingnya air, beberapa negara pun harus terlibat konflik dengan negara lain karena rebutan air. Sebut saja misalnya Kirgistan dan Tajikistan.

Sejak beberapa hari lalu, ratusan perwakilan dari berbagai negara di dunia berkumpul di Bali. Dalam pertemuan yang dikemas dalam World Water Forum (WWF) ke-10 itu, semua sepakat untuk menjadikan air sebagai jalan untuk meraih kesejahteraan bersama.

Tentu, sebuah harapan yang sarat tantangan di tengah ancaman krisis air yang melanda berbagai negara belaha di dunia. Tak terkecuali Indonesia. Dalam berbagai literasi, Indonesia diperkirakan alami krisis air parah di 2050 mendatang.

Berangkat dari situasi itu, penyelenggaraan WWF-10 menjadi sangat penting. Melalui forum ini, Indonesia bisa memperkuat diplomasinya kepada masyarakat global untuk membangun tata kelola air.

Di tingkah lokal ancaman krisis air di masa depan juga disadari oleh pemerintah. Melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) , pemerintah bahkan telah menerbitkan intruksi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Peran Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Peningkatan Kinerja Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pelaksanaan Forum Air Sedunia Ke 10.

Dalam intruksi tersebut, Gubernur, Bupati/Walikota se Indonesia, diinstruksikan untuk melaksanakan arah kebijakan dalam kerangka ketahanan sumber daya air. Baik secara kuantitas maupun kualitas.

Dalam intruksinya, pemerintah juga mendorong Pemerintah Daerah mengembangkan kinerja dalam pelayanan inklusif terkait akses air bersih dan aman bagi masyarakat, sektor pertanian dan energi serta mendorong gerakan penghematan dan efisiensi air.

Yang tidak kalah penting, intruksi tersebut juga menitikberatkan pada kinerja konservasi sumber daya air serta upaya pemulihan ekosistem air tawar dan keanekaragaman hayati.

Mendagri juga mengarahkan Pemda menerapkan kebijakan pengurangan resiko berbasis ekosistem guna mewujudkan ketangguhan dalam hal kebencanaan hidrometeorogi akibat cuaca ekstrim. Upaya itu dilakukan melalui perlindungan zona pesisir, pencegahan dan pengendalian bencana banjir secara terpadu, serta penegembangan berbagai sistem peringatan dini.

Beberapa poin di atas mengingatkan akan terjadinya banjir di wilayah Probolinggo-Pasuruan beberapa waktu lalu. Dimana, secara tidak langsung, situasi itu menggambarkan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sedang tidak baik-baik saja. Mulai dari DAS Welang, DAS Rejoso, DAS Laweyan dan DAS Kedunggaleng. Intensitas banjir yang terjadi pada daerah sub DAS (hilir) menjadi indikasi kondisi DAS yang kian terdegradasi.

Sudah menjadi hukum alam bahwa air mengalir ke daerah yang lebih rendah. Masalahnya, degradasi lahan yang terjadi di hulu (hutan) menjadikan air dengan cepat meluncur ke bawah (hilir).

Tentu, hal itu berbeda tatkala daerah hulu masih menyimpan vegetasi yang dapat. Keberadaan vegetasi akan mampu menahan laju air dan menginfiltrasikannya ke dalam tanah. Sebaliknya, saat hutan atau vegetasi habis, air akan dengan cepat memenuhi badan sungai hingga menyebabkan banjir.

Ada banyak manfaat yang diperoleh dari menjaga kerapatan kawasan. Di antaranya, mencegah terjadinya banjir, konservasi air tanah, hingga meningkatkan keanekaragaman hayati. Dan, beberapa manfaat itu hanya bisa diperoleh dengan tetap menjaga ekosistem.

Apa yang terjadi di Desa Galih, Kecamatan Puspo dapat menjadi contoh praktik baik bagaimana upaya multipihak untuk menjaga ekosistem per lahan mulai membuahkan hasil. Tangan buah-buahan yang sebelumnya tak berbuah maksimal, kini lebih produktif.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.