Terima Kasih Penjajah Belanda

75

Mbok ya kita sebagai rakyat, jangan terlalu manja. Apa-apa minta diurusi pemerintah. Apa-apa selalu menyalahkan pejabat. Beliau-beliau itu kan wakil Tuhan, yang dikirim ke bumi untuk mengurusi hajat hidup orang banyak, agar kita bisa tetap nyangkruk di warung kop

Oleh Abdur Rozaq

Para penertawa hidup di warung Cak Sueb, ramai rasan-rasan mengenai beberapa bencana alam yang beberapa hari terakhir terjadi di kota mereka. Hujan yang sebenarnya rahmat, berubah menjadi malapetaka secara beruntun. Banjir besar kembali melanda, ada tanah longsor, pohon tumbang, angin puting beliung hingga tanah bergerak yang membuat beberapa rumah warga rusak. Cak Paijo LSM menggugat pemerintah yang menurutnya kurang serius mengantisipasi berbagai bencana, sementara Mahmud Wicaksono sang jagal rambut, memandang bencana beruntun itu sebagai dosa ekosistem, dosa politis hingga dosa historis warga negaranya. Tak ayal, dua kubu yang sering bersebarangan ini kembali eyel-eyelan, meski tatap rukun soal joinan kopi sak sruput dan saling ngampung rokok ketika nyangkruk di warung kopi.

“Konon di luar negeri, pemerintah punya beberapa skenario sekaligus untuk mengantisipasi bencana,” ujar Cak Paijo LSM. “Jangankan setelah terjadi, beberapa tahun sebelumnya saja, sudah menerjunkan ahli untuk mengantisipasi. Dan apabila bencana benar-benar terjadi, penanganannya satset dan tidak banyak drama,” sambungnya.

Mahmud Wicaksono lansung membela pemerintah. “Yang namanya bencana alam, tidak sepenuhnya kita harus menyalahkan pemerintah,” sanggah sarjana tukang cukur itu. “Bencana alam di luar kendali beliau-beliau. Para pemimpin kita itu sudah terlalu pening memikirkan kita. Masa tidak boleh leyeh-leyeh sebentar di warung kopi, sesekali nyanyi di room karaoke atau setidaknya ikut nimbrung di arena sabung ayam? Budaya kita tak membiasakan gila kerja, agar mental tidak down lalu stroke di usia produktif. Mbok ya kita sebagai rakyat, jangan terlalu manja. Apa-apa minta diurusi pemerintah. Apa-apa selalu menyalahkan pejabat. Beliau-beliau itu kan wakil Tuhan, yang dikirim ke bumi untuk mengurusi hajat hidup orang banyak, agar kita bisa tetap nyangkruk di warung kopi,” lanjut Mahmud Wicaksono. Entah, tumben tukang pangkas rambut itu membela para pejabat. Apa ia sudah dikontrak menjadi buzzer? Toh, kan sudah biasa ada orang yang dulunya vokal tiba-tiba pelo setelah diundang makan-makan di sebuah hotel untuk menjadi corong kepentingan tertentu?

Cak Paijo LSM yang terbiasa mengkritik apapun, tentu saja tidak terima dengan pendapat Mahmud Wicaksono. Ia tetap ngeyel jika bencana alam, bagaimana pun misteriusnya, adalah tanggung jawab pemerintah untuk mengantisipasinya. Kalau bencana alam musiman kali ini akibat perubahan iklim, kenapa tidak membuat kebijakan untuk menguranginya. Bahkan, andai pemanasan global merupakan tanggung jawab PBB, pemerintah harus memainkan perannya untuk mengurangi itu. Namun, Mahmud Wicaksono tentu tak sepakat dengan tuntutan Cak Paijo LSM. “jangankan kita, wong Wak Donald Trum saja angkat tangan untuk mengurangi dampak penanasan global. Wak Donald Trum terang-terangan mundur dari perjanjian penanganan dampak cuaca ekstrim, karena biayanya terlalu besar. Sementara negara-negara besar lain, tetap santai dar der dor menguji rudal nuklir, meluncurkan roket pembawa satelit ke luar angkasa, dan makin brutal membangun pabrik-pabrik demi memanjakan konsumerisme,” kata Mahmud Wicaksono.

Mendengar omongan tukang cukur itu makin aneh, apalagi menggunakan kosa kata dan istilah aneh, tentu saja Wak Takrip tolah-toleh tak mengerti. Cak Sueb, Cak Paidi dan beberapa orang lainnya diam-diam menuduh Mahmud Wicaksono sedang kumat. Mungkin karena pelanggannya semakin sepi sementara cicilan ini-itu mengepungnya dengan agresif, sarjana tukang cukur itu senewen. Tapi alhamdulillahnya, Mahmud Wicaksono menunjukkan jika bangsa mereka sudah cerdas. Bayangkan, seorang tukang cukur saja menyandang gelar sarjana, dan paham geopolitik dunia. Tidak main-main, bukan?

Gus Karimun akhirnya terpaksa turun tangan mendamaikan perdebatan saur manuk tersebut. Kiai muda itu ambil jalan tengah, menganalisa bencana dari berbagai sudut pandang.

“Pendapat Cak Paijo LSM itu benar. Sedangkan pendapat Mas Mahmud Wicaksono juga bijaksana. Saya sependapat dengan Cak Paijo LSM, pemerintah memang wajib mengantisipasi, memberikan solusi cepat dan menjamin keamanan rakyat dari ancaman bencana. Meski bencana itu misterius dan susah diprediksi. Kita kan tidak kekurangan ahli, teknologi juga makin canggih, kenapa antisipasi bencana belum juga tuntas? Banjir yang pasti datang setiap musim penghujan dan intensitas serta dampaknya kian ngeri, kenapa tidak bisamemberi pelajaran? Setiap tahun pasti banjir, penyebabnya sudah kita ketahui, tapi kenapa belum juga ada langkah kongkrit yang cespleng? Penyebab banjir kan jelas dari penggundulan hutan, dangkalnya sungai, banyaknya sampah, kurangnya lahan penyerapan air serta meningginya air laut? Kenapa belum ada reboisasi intensif, belum ada pelarangan tambang ilegal, belum melakukan pengerukan sungai dan belum mengurangi program pavingisasi di pemukiman warga?”

“Soal tumbangnya pohon di pinggir jalan hingga menelan korban jiwa, itu karena kita tidak nurut sama penjajah Belanda,” tegas Gus Karimun. Semua orang terperangah, namun hanya Mahmud Wicaksono yang berani menyanggah. “Menurut sama penjajah Belanda, bagaimana maksudnya, gus?” Ujar Mahmud Wicaksono.

“Siapa suruh menanam pohon sono keling di sepanjang pinggiran jalan? Siapa suruh bikin tata pemukiman dengan sembrono? Dulu penjajah Belanda menanam pohon asam Jawa karena pohon itu tahan cuaca, akarnya menghunjam ke tanah dan jarang tumbang. Kenapa kita menebangi pohon asam lalu menggantinya dengan pohon sono keling yang rapuh dan akarnya tidak kuat? Kita lihat juga bagaimana penjajah Belanda saat mendirikan bangunan. Sistem pembuangan air dibuat sangat dalam dan lebar, bangunan utama didirikan beberapa meter dari jalan raya. Mereka telah mempertimbangkan pelebaran jalan yang akan terjadi puluhan tahun ke depan. Bahkan, penjajah Belanda mengajari kita tetap melestarikan hutan sebagai lahan perkebunan, bukan digali, diambil pasir dan batunya,” urai Gus Karimun panjang lebar.

“Sementara dari pendapat Mas Mahmud Wicaksono, saya sepakat agar kita tidak terlalu berharap banyak kepada orang lain. Bahkan, itu kepada pemerintah yang konon merupakan penjamin kesejahteraan kita. Jangan manja. Jangan sedikit-sedikit meminta pemerintah mengurusi kebutuhan kita karena beliau-beliau mengurus hampir 300 juta rakyat negara ini. Kalau cuma urusan banjir, puting beliung atau pohon tumbang, kita tangani saja sendiri agar tak merepotkan pemerintah. Lagi pula, agar cepat teratasi daripada menunggu sistem birokrasi yang …..”

“Mbulet seperti bako susur,” sambung Cak Manap.

*Penulis adalah cerpenis, youtuber dan ahli terapi refleksi

*Tulisan hanya fiksi semata. Kesamaan nama dan peristiwa hanya kebetulan semata.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.