Probolinggo (WartaBromo.com) – Aroma duka menyelimuti Desa Temenggungan, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo. Dua nyawa melayang setelah menenggak minuman keras (miras) oplosan dalam sebuah pesta yang digelar di rumah kepala desa. Peristiwa tragis ini terjadi pada akhir April 2025, tepatnya Sabtu hingga Minggu (29–30/4/2025), dan kini menjadi sorotan publik.
Korban pertama yang diketahui adalah Moch Albar Ali Warsa (36), seorang perawat honorer. Korban lainnya, Rifkotul Ibad (19), juga tak tertolong setelah mengalami gejala muntah hebat. Keduanya sempat mendapat perawatan medis, namun nyawa mereka tak tertolong.
Dari informasi yang dihimpun, pesta miras tersebut dihadiri enam orang pria. Empat lainnya selamat dan kini tengah diperiksa pihak kepolisian. Sementara itu, jalur distribusi arak oplosan yang mereka konsumsi sedang diselidiki.
Tragedi ini menyulut keprihatinan berbagai pihak. Habib Mustofa Assegaf, Koordinator Forum Peduli Akhlaq dan Ketertiban Masyarakat Kabupaten Probolinggo, mengaku sangat prihatin dengan tragedi tersebut.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun… Turut berduka sedalam-dalamnya atas kejadian di salah satu desa di Kecamatan Krejengan. Duka pertama untuk keluarga, yang kedua atas peredaran miras di Kabupaten Probolinggo yang menjadi permasalahan yang belum terselesaikan,” ujarnya.
Ia juga mengecam keras maraknya peredaran miras. Ia berharap kejadian tersebut menjadi yang terakhir. “Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan ancaman serius terhadap generasi muda dan moralitas masyarakat,” kata Bib Mus, begitu ia disapa.
Hal senada disampaikan Pradipto Atmasunu, advokat dari LBH Ansor Jawa Timur. Menurutnya, penegakan hukum harus dilakukan tanpa kompromi. “Tidak boleh ada celah bagi pelaku peredaran miras ilegal. Sanksi tegas harus ditegakkan agar muncul efek jera,” tegasnya.
Lebih lanjut, iamenekankan pentingnya edukasi dan kesadaran masyarakat. “Kita perlu mengubah pola pikir. Miras bukan solusi, melainkan awal dari masalah,” ajak Diki, sapaan akrabnya, kepada masyarakat..
Menanggapi kondisi ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Probolinggo mendesak adanya tindakan kolektif dari pemerintah daerah dan aparat keamanan. Sekretaris MUI, Yasin, menilai peredaran miras sudah pada tingkat yang membahayakan stabilitas sosial.
“Kasus miras tidak hanya soal nyawa, tapi juga potensi munculnya kejahatan lain seperti penganiayaan, pencurian hingga pembunuhan,” kata Yasin.
MUI juga menyoroti lemahnya pengawasan dan meminta pelibatan semua elemen masyarakat, termasuk ormas dan tokoh agama.
“MUI akan menyampaikan aspirasi ini secara resmi ke DPRD dan Polres Probolinggo,” sebut Wakil Ketua Umum MUI Kabupaten Probolinggo, KH Abdul Wasik Hannan
Kasus ini kian kompleks karena salah satu korban adalah adik kandung dari kepala desa yang menjadi tuan rumah pesta miras tersebut. Publik pun menaruh harapan besar agar penyidikan dilakukan secara transparan dan adil, tanpa intervensi atau tebang pilih.
Sementara itu, muncul dugaan keterlibatan oknum aparat dalam jaringan peredaran miras di wilayah ini. Polisi menyatakan akan mendalami informasi tersebut dan tidak segan menindak siapa pun yang terbukti terlibat.
“Kalau benar, kita pasti ambil tindaka, Kang.. Nnti kita lakukan lidik,” tegas AKBP Wisnu Wardana kepada WartaBromo.
Tragedi di Temenggungan menambah daftar panjang korban miras di Probolinggo. Tak hanya soal hilangnya nyawa, tapi juga menyiratkan krisis nilai dan lemahnya kontrol sosial.
Beberapa bulan sebelumnya, pesta miras juga sempat terekam di kawasan Stadion Gelora Merdeka Kraksaan, menunjukkan miras telah merambah ruang-ruang publik.
Kini, Probolinggo yang selama ini dikenal sebagai daerah religius, dihadapkan pada ujian berat. Pemerintah, aparat, ulama, dan masyarakat dituntut bersatu dalam memutus mata rantai peredaran miras yang telah memakan korban jiwa.
“Kalau kita diam, maka tragedi serupa bisa kembali terulang,” pungkas Bib Mus. (saw)