Probolinggo (WartaBromo.com) – Dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, mendesak penegakan hukum secara menyeluruh terhadap pelaku penyalahgunaan minuman keras (miras), menyusul tragedi pesta miras oplosan yang menewaskan dua warga di rumah Kepala Desa Temenggungan, Muhammad Iqbal Ali.
Peristiwa tragis itu memicu kecaman dari berbagai pihak, terutama tokoh-tokoh keagamaan. Mereka menilai, peredaran miras di Kabupaten Probolinggo—khususnya di wilayah Kota Kraksaan—sudah mencapai tingkat darurat yang mengkhawatirkan dan perlu segera diatasi.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Kraksaan, H. Achmad Muzammil, menyatakan keprihatinannya atas kejadian tersebut. Ia menyebut insiden ini sebagai alarm keras tentang bahaya miras di tengah masyarakat.
“Belum lama kita dikejutkan dengan kejadian di Gelora Merdeka, sekarang muncul lagi kasus yang lebih parah. Dua nyawa melayang akibat pesta miras, dan itu terjadi di rumah seorang pejabat desa. Ini sangat memprihatinkan,” ujar Muzammil, Minggu (4/5/2025).
Ia menegaskan pentingnya tindakan tegas dari aparat penegak hukum, tidak hanya terhadap para pelaku di lapangan, tetapi juga untuk membongkar jaringan distribusi miras hingga ke akarnya.
“Ini bukan hanya pelanggaran sosial, tapi ancaman terhadap kehidupan masyarakat. Kami mendesak DPRD untuk segera merancang dan mengesahkan perda yang mengatur larangan serta pengendalian miras secara ketat,” tegasnya.
Senada, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Kabulaten Probolinggo, Sigit Prasetyo, menyesalkan bahwa peristiwa tersebut terjadi di rumah kepala desa, yang seharusnya menjadi panutan moral di tingkat masyarakat akar rumput.
“Kepala desa seharusnya menjadi teladan, bukan justru menjadi tuan rumah pesta miras yang berujung maut. Ini mencerminkan krisis kepemimpinan dan moralitas,” kata Sigit.
Ia juga menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap peredaran miras. Menurutnya, selama penindakan tidak menyentuh akar permasalahan, tragedi semacam ini akan terus berulang.
“Penegakan hukum yang lemah hanya akan membuka celah bagi kejadian serupa. Diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, aparat, dan masyarakat untuk menyelamatkan generasi muda dari ancaman miras oplosan,” tambahnya.
Tragedi ini terjadi pada Sabtu malam (26/4/2025), usai acara tahlilan. Enam pria berkumpul di rumah kepala desa dan diduga menenggak miras oplosan. Dua di antaranya—Rifkotul Ibad (19) dan M Albar Ali Warsa (36), yang merupakan adik kandung kepala desa—meninggal dunia akibat muntah hebat.
Albar dilarikan ke rumah sakit pada Minggu sore (27/4), disusul Ibad keesokan harinya. Namun nyawa keduanya tak tertolong. Sementara empat orang lainnya—Taufik (33), Asril (20), Mulyadi (49), dan Fran (49)—masih selamat dan tengah menjalani pemeriksaan oleh kepolisian.
Tragedi Temenggungan menambah daftar panjang kasus miras di Probolinggo. Sebelumnya, pesta miras juga sempat terjadi di kawasan Stadion Gelora Merdeka Kraksaan. Peristiwa-peristiwa ini menandakan miras telah menyusup ke ruang publik dan mencerminkan lemahnya kontrol sosial.
Probolinggo, yang selama ini dikenal sebagai daerah religius, kini dihadapkan pada tantangan serius. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, tokoh agama, dan masyarakat harus bersatu dalam menghentikan peredaran miras yang telah memakan korban jiwa. (aly/saw)