Sebelum tumpeng digasak seperti area tambang ilegal dan jabatan, Gus Karimun memberi penjelasan, bahwa slametan ini untuk nyelameti dunia agar tidak segera perang dunia ketiga.
Oleh : Abdur Rozaq
Warung Cak Sueb hiruk pikuk, padahal tak ada pemilu apapun. Biasanya kalau warung Cak Sueb ramai sampai membludak, pasti ada tim sukses alias makelar suara pemilu yang sedang mentraktir, lha ini tidak ada pemilu apapun, kok. Usut-punya usut, Gus Karimun selametan. Semua nasi pecel Cak Sueb diborong, tapi dihidangkan di atas amben beralas daun pisang. Kopi dan teh juga diborong sampai harus diseduh langsung pakai teko. Belasan macam merek rokok diborong sebagai tombo amis selepas mayoran nanti.
“Tumpengan nyelameti apa, gus?” Tanya Mahmud Wicaksono ingin tahu.
“Yang pertama, nyelameti Nusantara agar selamat dari niat buruk dari mana pun, kedua, slametan perang India-Pakistan, ketiga nyelameti seluruh rakyat Nusantara supaya tidak termakan oleh rongrongan pemilik akun-akun palsu yang sering bikin gaduh di media sosial,” jelas Gus Karimun wajah sedikit tegang.
“Oh ya, yang keempat biar bangsa-bangsa rukun,” tambah Gus Karimun.
“Halah gus, perang kok diselameti. Harusnya negara kita yang ditahlili karena berita dalam negeri lebih banyak buruknya,” protes Cak Paijo LSM.
“Lha slametan ini, salah satunya ya untuk meruqyah alias nyuwuk pemikiran-pemikiran pesimis seperti pikiran sampeyan itu, cak,” sanggah Gus Karimun seraya tertawa kecil.
“Wis talah, percoyo o. Insya Allah hasil istikaharah Mbah Sunan Giri Prapen dalam Serat Jangka Jayabaya dan hasil istikharah Mbah Ranggawarsita dalam Serat Kalatida mulai terbukti.”
“Sayangnya, Pakistan dan India tiba-tiba gelut. Ini kalau sampai mereka pakai nuklir, dunia, terutama kita yang berada di selatan India akan terimbas. Memang tidak terkena ledakan, tapi radiasi dan awan beracunnya kan bisa membuat langit gelap? Bisa terjadi musim dingin akibat awan nuklir, panen gagal, bencana kelaparan melanda. Apalagi, India merupakan penghasil beras terbesar di dunia, apa cukup beras kita tanpa impor? Lha nasib negara lain pengkonsumsi beras bagaimana?”
Obrolan terhenti karena nasi mayoran telah siap. Nasi putih mengepul, berbau wangi saat menyentuh dan melepuhkan daun pisang yang entah dicolong dari kebun siapa oleh Wak Takrip. Bumbu pecel ala Yu Markonah istri Cak Sueb, membuat siapa pun merasa lapar. Bukan hanya lauk tahu tempe, ayam goreng, dadar telur, kresekan udang hingga ikan asin. Kepiting asam manis hingga cumi-cumi lengkap tersaji. Entah habis berapa Gus Karimun nomboki. Ini mayoran lillahi ta’ala karena Gus Karimun tak akan mencalonkan diri sebagai apapun. Dan yang jelas, halal dan barokah karena Gus Karimun tak punya tambang ilegal atau semacamnya.
Sebelum tumpeng digasak seperti area tambang ilegal dan jabatan, Gus Karimun memberi penjelasan, bahwa slametan ini untuk nyelameti dunia agar tidak segera perang dunia ketiga. Kematian memang tak bisa dihindarkan, tapi bagaimana jika tidak menjadi korban perang, namun mati perlahan karena bencana kelaparan? Atau, bagaimana nasib anak-anak dan wanita jika perang merembet ke Indonesia? Bukankah Mbah Narendra Modi melalui salah satu menterinya telah mengancam, agar Indonesia tidak usah ikut campur? Tidak usah ikut merukunkan gelut antara Pakistan-India, meski baru tiga hari India sudah kehilangan 5 pesawat tempurnya? Gus Karimun bahkan memohon, para jamaah warung kopi berdoa dalam sujud terakhir agar perang dunia ketiga ditunda Gusti Allah.
Puluhan orang tumplek blek mengerumuni tumpeng di atas lima lincak warung Cak Sueb. Bukan hanya bapak-bapak, emak-emak pun ikut andil, tapi di lincak yang berbeda. Semua orang kompak siap menyantap tumpeng. Tak ada sekat sosial. PNS, anggota LSM, pengangguran, sarjana tukang cukur, korban judol dan pinjol, pemilih 01 dan pemilih 02 kompak dengan satu tujuan: menggasak tumpeng. Mahmud Wicaksono yang selalu tak punya rokok, menggelapkan beberapa lencer rokok sebagai antisipasi takut gak kumanan. Cak Paijo LSM malah lebih ekstrim, menggelapkan satu pak rokok ke sakunya. Demikianlah kearifan lokal rakyat negara Cak Manap. Demi sebuah keakraban dan sungkan, semua orang pura-pura tak tahu demi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Makanya, budaya ngentit adalah kerarifan lokal yang akan tetap lestari hingga H-1 kiamat kubro.
Semua orang fokus pada tumpeng. Rawe-rawe rantas malang-malang putung seraya mengerahkan ajian gulu kali weteng segoro. Betul kata Wak Takrip, makan bareng-bareng memang selalu lebih nikmat daripada makan sendirian. Bisa jadi, budaya korupsi berjamaah berasal dari sini filosofinya.
Tak sampai setengah jam, lima buah tumpeng besar ludes sampai butir upo terakhir. Kopi dan teh kemudian dituang, rokok dinyalakan, menikmati karunia Tuhan berupa seger waras yang tak ternilai.