Probolinggo (WartaBromo.com) – Di sebuah gang sempit di Kelurahan Mangunharjo, Kota Probolinggo, tinggal seorang anak perempuan berusia 12 tahun yang menulis puisi untuk Presiden. Namanya Sugita Wania Apsari. Orang-orang memanggilnya Gita.
Bersama ibunya, Lutfia, Gita menempati rumah sederhana berdinding tembok kusam, berlantaikan semen, tanpa kursi atau perabot mewah. Ayahnya telah meninggal sembilan tahun lalu. Ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga dari rumah ke rumah. Namun dari rumah kecil itulah lahir mimpi besar yang kini mulai menemui jalannya.
Jalan Menuju Sekolah Rakyat
Gita adalah satu dari 118 anak di Kota Probolinggo yang akan menjadi siswa angkatan pertama Sekolah Rakyat (SR)—program pendidikan gratis yang ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem. Program ini akan resmi dibuka Juli 2025, dan menjangkau jenjang SMP hingga SMA.
Rabu (14/5/2025) kemarin, Menteri Sosial RI Saifullah Yusuf datang langsung ke rumah Gita. Dalam kunjungan itu, Gita tidak hanya menerima kabar bahwa dirinya lolos sebagai calon siswa Sekolah Rakyat. Ia juga menyerahkan sebuah puisi, yang ia tulis sendiri untuk Presiden RI Prabowo Subianto dan Menteri Sosial.
Berikut isi puisi Gita:
Pak Presiden, Pak Menteri Sosial
Saya orang kecil dari pelosok yang tak kenal modal
Rumah saya berdinding bambu, beratap langit
Sekolah jauh, sepatu pun sudah menipis
Saya tak pandai bicara
Tapi saya ingin menyapa
Lewat puisi sederhana ini, dari hati kecil yang tak pernah berhenti bermimpi
Kami anak negeri, yang kadang hanya makan sekali sehari
Tapi kami masih berdiri dengan semangat, walau kadang nyaris mati
Pak Presiden yang terhormat, saya tahu tugas Bapak berat
Tapi mohon lihat kami sekejap, anak-anak yang ingin merajut harap
Pak Menteri Sosial yang baik hati, saya dengar Bapak Suka berbagi
Maukah bapak datang sekali, lihat kami di sini, hidup dalam sunyi?
Dari Hati kecil yang tak pernah berhenti berhenti bermimpi
Kami tidak minta istana tinggi, hanya sekolah yang rapi, sepiring nasi setiap hari, dan buku yang bisa kami peluk erat di pagi hari
Bapak-bapak pemimpin negeri, kami percaya bahwa bapak bisa membuat ini jadi,
Bukan untuk kami sendiri, tapi untuk masa depan Ibu Pertiwi.’
Puisi berjudul “Surat Kecil dari Anak Bangsa” itu ditulis Gita dari jam 7 malam hingga 10 malam. Dalam bait-baitnya, ia menyuarakan harapan sederhana anak-anak yang hidup dalam keterbatasan: bisa sekolah, makan cukup, dan memeluk buku setiap pagi.
“Saya Ingin Berubah, Ingin Sekolah”
Di hadapan Gus Ipul, sapaan akrab Mensos, Gita mengaku ingin bersekolah agar bisa menjadi anak yang mandiri dan berguna bagi keluarganya.
“Senang, saya ingin bisa berubah jadi lebih baik. Katanya di Sekolah Rakyat fasilitasnya lengkap dan bisa tinggal di asrama,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu.
Ibunya, Lutfia, tak kuasa menyembunyikan rasa haru dan bangganya. Selama ini, ia hanya berharap Gita bisa melanjutkan sekolah tanpa harus memikirkan biaya. “Saya bersyukur sekali. Semoga Gita bisa mandiri, tidak manja, dan betah di sana,” ucapnya pelan.
Verifikasi Ketat, Bantuan yang Tepat
Gita menjadi representasi dari anak-anak yang selama ini tak terjangkau program bantuan. Mensos Saifullah Yusuf bahkan mengungkapkan bahwa keluarga Gita selama tujuh tahun terakhir tidak tercatat sebagai penerima PKH (Program Keluarga Harapan), meski memenuhi syarat.
“Itu yang akan kami benahi. Pendamping PKH nanti akan menyesuaikan data. Kami ingin Sekolah Rakyat ini benar-benar menyasar yang membutuhkan,” tegas Gus Ipul.
Dalam kesempatan itu, Mensos juga mengingatkan bahwa proses seleksi SR dilakukan secara ketat dan berlapis. Data dari dinas sosial, pendamping PKH, BPS, hingga RT/RW diverifikasi sebelum ditandatangani kepala daerah dan dikirim ke pusat.
Asa yang Menyala dari Gang Sempit
Sebelum ada program Sekolah Rakyat, Gita sempat berencana masuk ke SMP Negeri 3, atau mencari pondok pesantren gratis jika tak mampu. Namun dengan hadirnya SR, jalan itu kini terbuka lebih lebar. Ia tak hanya bisa bersekolah, tetapi juga tinggal di asrama dan mendapat semua fasilitas pendidikan tanpa biaya.
Gita adalah satu di antara ratusan anak di Indonesia yang selama ini hidup dalam senyap. Tidak banyak bicara, tapi diam-diam menulis puisi. Tidak banyak meminta, tapi terus belajar meski sepatu menipis dan buku terbatas.
Hari ini, ia tak lagi harus memilih antara mimpi dan kenyataan. “Terima kasih Pak Mensos, terima kasih Pak Presiden. Saya akan sekolah dan terus belajar,” ujarnya penuh semangat.
Di Kota Probolinggo, ada 2 lokasi yang dipilih menjadi Program Sekolah Rakyat, yakni Rusunawa PPI Kronong Mayangan dan SD Negeri 4 Mayangan. Kedua titik itu, merupakan lokasi sementara sebelum Pemkot Probolinggo membangun sekolah permanen.
“Nantinya kita akan bangun bangunan di atas luas 7 hektar sebagai lokasi resmi SR. Nanti akan dilengkapi fasilitas seperti musholla, sarana olahraga dan lainnya. Siswa yang kami pilih juga berdasarkan data kemiskinan dan itu merata di seluruh Kota Probolinggo,” tutur Wali Kota Probolinggo dr Aminuddin. (saw)