Laporan: Akhmad Romadoni
Suara palu dan dentuman alat berat menggema di sekitar Stasiun Pasuruan pagi itu. Bukan sekadar alat yang merubuhkan bangunan, tapi juga memporak-porandakan kenangan dan harapan puluhan pedagang yang telah lama menggantungkan hidup di sana.
Satu per satu kios di trotoar stasiun dibongkar pada Senin (26/5/2025) pagi. Di tengah keramaian, mata Wiyeh (43) sembab menahan tangis. Tangannya sibuk mengangkut lemari, perabotan rumah, dan perlengkapan jualan kelapa yang selama ini jadi tumpuan hidupnya.
“Saya tinggal disini, 7 orang di dalam. Saya sama suami dan 5 orang anak,” kata Wiyeh, lirih. Rumah sekaligus kios berukuran 2×3 meter itu bukan hanya tempat usaha, melainkan juga satu-satunya tempat tinggal keluarganya.
Sambil terus mengemasi barang, Wiyeh terlihat bingung. Ia belum tahu ke mana akan pergi setelah ini. Kios itu bukan bangunan baru baginya. Sudah hampir lima dekade keluarganya bertahan di sana, sejak masa orang tuanya berjualan kelapa di tempat yang sama.
“Dari orangtua dulu sudah berjualan. Saya sekarang sudah umur 43 tahun. Hampir 50 tahun saya disini,” ucapnya, pilu.
Sejak menerima himbauan dari PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 9 Jember dan Pemerintah Kota Pasuruan, Wiyeh mengaku sudah mencoba mencari tempat tinggal baru. Tapi hasilnya nihil.
“Belum nemu, saya nggak tahu sekarang mau ngapain. Cuma bisa berharap disediakan tempat untuk kami,” ujarnya sambil menatap kosong.
Cerita serupa datang dari Ida (32), yang juga menggantungkan hidup dari berjualan kelapa di kawasan yang kini ditertibkan itu. Sudah 27 tahun lamanya ia mengais rezeki dari kios peninggalan orang tuanya. Kini, semua tinggal puing.
“Perasaan saya, nggak tahu mau apa lagi,” katanya sembari menangis tersedu-sedu.
Ida mengaku paham dengan surat peringatan yang diberikan pihak KAI. Namun, hingga kini ia dan puluhan pedagang lainnya belum menerima informasi jelas mengenai lokasi relokasi.
“Nggak ada pilihan tempat relokasi, saya belum mendapatkan info itu. Sampai sekarang nggak tahu besok mau berjualan dimana,” tuturnya, menyeka air mata dengan kerudung.
Meski demikian, Ida mengaku siap membeli atau menyewa jika ada tempat baru yang disediakan.
“Saya siap bayar berapa pun, jika disediakan tempat,” jelasnya dengan penuh harap.
Di tengah suara haru para pedagang, PT KAI Daop 9 Jember menegaskan bahwa penataan ini dilakukan demi menciptakan kawasan stasiun yang tertib, nyaman, dan layak untuk semua pengguna jasa kereta api.
Manager Hukum dan Humasda KAI Daop 9 Jember, Cahyo Widiantoro, menyampaikan bahwa penertiban ini telah melalui tahapan sosialisasi sejak 15 Mei 2025.
“Kami mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis. Tujuan utama penataan ini adalah untuk mengembalikan fungsi trotoar dan akses stasiun agar dapat digunakan sebagaimana mestinya demi kenyamanan bersama,” jelas Cahyo.
Pertumbuhan jumlah penumpang juga menjadi alasan kuat di balik penataan ini. Pada 2023, tercatat 53.637 penumpang naik dari Stasiun Pasuruan. Angka itu melonjak menjadi 62.395 di tahun 2024. Hingga Mei 2025, jumlahnya mencapai 25.616 orang—naik sekitar 2% dari tahun sebelumnya.
“Harapannya lebih bersih dan tertata rapi,” tambah Cahyo.
Wali Kota Pasuruan, Adi Wibowo, hadir langsung dalam proses penertiban. Ia tidak hanya memantau dari kejauhan, tapi juga turun ke lapangan berdialog dengan para pedagang.
“Prinsipnya kita ingin berikan keadilan, pada pedagang, penumpang kereta dan pejalan kaki. Relokasi sudah kita siapkan,” ujar Adi.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tak hanya datang membawa aturan, tetapi juga menawarkan solusi.
“Untuk tempat berjualan, sudah kami carikan alternatif lokasi. Pemerintah tidak tinggal diam, kami hadir dengan solusi,” tegasnya.