Probolinggo (WartaBromo.com) – Krisis air bersih yang melanda Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, memaksa ratusan warga bergantung pada distribusi bantuan air.
Kondisi ini mengundang perhatian serius dari DPRD setempat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang langsung menyalurkan air bersih ke wilayah terdampak.
Sebanyak 6.000 liter air bersih dikirim ke Dusun Dulugan RT 11 RW 04 pada Jumat (30/5/2025). Bantuan ini menyasar sekitar 80 kepala keluarga atau 240 jiwa yang sejak pekan lalu mulai kesulitan mendapatkan pasokan air untuk kebutuhan sehari-hari.
“Distribusi ini adalah langkah darurat untuk menjawab kebutuhan mendesak warga. Namun, kami menyadari bahwa ini bukan solusi permanen,” ujar anggota DPRD Kabupaten Probolinggo, M. Basyir Nawawi, yang turut mengawal penyaluran bantuan.
Sebagai wakil rakyat dari Dapil 3 (Maron, Krucil, dan Tiris), Basyir menegaskan perlunya langkah strategis jangka panjang. Ia mendorong koordinasi lintas instansi untuk menelusuri akar masalah, termasuk kemungkinan gangguan pada sistem penyediaan air minum (SPAM) dari sumber air Tancak di Desa Ranuagung, serta opsi pengeboran sumur baru.
“Kami akan segera berkomunikasi dengan dinas terkait di pemerintah daerah. Tujuannya agar warga tidak terus-menerus hidup dalam ketidakpastian akibat kekeringan,” jelas politisi Partai Gerindra itu.
Sementara itu, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Probolinggo, Zubaidullah, mengungkapkan bahwa pengiriman air bersih merupakan respons atas laporan dari masyarakat dan permintaan langsung dari anggota dewan.
“Tim kami sudah turun ke lapangan. Informasi awal menyebutkan bahwa debit air sumur bor di Tulupari menurun drastis. Ini perlu diverifikasi lebih lanjut,” kata Zubaidullah.
Menurutnya, secara historis, Desa Tulupari tergolong wilayah yang jarang mengalami kekeringan. Namun penurunan volume air tanah diduga menjadi penyebab utama gangguan distribusi.
“Saat ini kami tengah melakukan asesmen menyeluruh. Kami ingin memastikan apakah hambatan berasal dari sistem PDAM atau dari kondisi sumur milik warga yang mulai mengering,” tambahnya.
Krisis air bersih yang terjadi di beberapa dusun seperti Dulugan (RT 10, 11, dan 12 RW 04) serta Karang Tengah (RT 07, 08, dan 09 RW 03) membuat warga harus membeli air bersih dari pedagang keliling. Satu tangki berisi 1.100 liter dihargai Rp60.000, sementara sebagian besar warga bekerja sebagai buruh tani dengan upah harian Rp50.000.
“Kami masih bisa menampung air hujan untuk mencuci dan mandi, tapi untuk minum dan masak, terpaksa beli,” kata Samsul, salah satu warga setempat.
Situasi ini menjadi pengingat bahwa akses air bersih bukan sekadar persoalan teknis, melainkan hak dasar warga yang perlu dijamin negara. Kolaborasi antara legislatif dan eksekutif menjadi kunci agar krisis serupa tidak terus berulang. (saw)