Bangsa Nyasar? Cek Lagi, Pancasila GPS Kita!

35

Pancasila, bolo, itu bukan sekadar kalimat sakral yang cuma dipajang di dinding kantor atau di podium upacara bendera setiap Senin pagi. Pancasila itu semacam “GPS moral” bangsa Indonesia, yang harusnya ngasih arah supaya kita gak nyasar di jalan kebangsaan. Tapi kalau lihat sekarang? Waduh… GPS-nya kayak sinyal hilang terus, nyasar kemana-mana!

Oleh : Kang Nisun

Coba deh lihat, korupsi kita sudah kayak acara TV marathon yang gak pernah selesai—selalu ada episode baru, dan penjahatnya gak pernah bosen main peran. Moral bangsa? Seperti telur di ujung tanduk, gampang pecah dan bikin ribut. Keadilan sosial? Ah, itu kayak pepatah “ada gula ada semut”, cuma gula buat orang tertentu, semutnya yang lain ngiler tapi nggak kebagian.

Nah, kepemimpinan kita? Kadang kayak sinetron yang plot-nya muter-muter tapi ending-nya tetap aja “kekuasaan itu buat yang kuat”. Kerakyatan? Seharusnya rakyat itu bos, tapi kenyataannya malah jadi penonton drama kekuasaan. Kalau Pancasila sebagai pondasi, kok sekarang pondasinya retak-retak? Mau bangun rumah bangsa kok, tapi pondasinya kayak dipakai buat main lompat tali.

Yang lucu, Pancasila sering muncul cuma pas momen-momen seremoni resmi. Selebihnya? Dia kayak artis tamu undangan yang cuma lewat sebentar, terus menghilang. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mestinya jadi standar moral publik, tapi realitanya, politik transaksional jadi ajang “lelang moral”. Kemanusiaan yang adil dan beradab? Kadang perlakuan kita ke kelompok minoritas lebih mirip drama reality show—penuh intrik dan konflik.

Persatuan Indonesia? Ujiannya kayak kuis tebak-tebakan: siapa yang bisa bertahan dari polarisasi politik identitas? Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, seringnya malah jadi arena oligarki eksklusif. Keadilan sosial? Janji manis yang sering disuguhkan, tapi kenyataannya masih jauh dari jangkauan masyarakat di daerah pelosok.

Pancasila bukan cuma teks buat dihafal biar lulus ujian. Dia itu way of life, cara hidup kita sehari-hari. Jadi, jangan cuma hafalin Pancasila pas upacara, terus lupa selama 364 hari berikutnya. Pendidikan Pancasila harusnya bikin karakter, bukan cuma jago hafal sila. Kebijakan publik? Harusnya kayak pakai kompas moral, bukan cuma ngikutin angin politik sesaat.

Kalau kita abaikan Pancasila, sama saja kita jadi bangsa tanpa arah dan wajah—kayak selfie tapi gak ada muka. Pancasila harus jadi bahan bakar, bukan cuma pajangan di meja rapat.

Jadi, ayo hidupkan Pancasila! Jangan sampai dia cuma jadi tema viral yang cepat basi. Turunkan dia ke ranah nyata: birokrasi, hukum, ekonomi, budaya, bahkan dalam obrolan warung kopi. Kalau enggak, ya Pancasila cuma jadi bahan pidato penuh gaya, tapi gak punya nyawa.

Revitalisasi Pancasila itu bukan nostalgia basi, tapi lompatan cerdas ke masa depan yang lebih cakep: adil, beradab, dan bermartabat. Di era yang penuh disrupsi dan drama global, Pancasila itu jangkar kita supaya gak melayang-layang kayak balon helium.

Pokoknya, hidupkan Pancasila di hati dan tindakan. Kalau enggak, kita cuma bakal jadi bangsa yang kehilangan akar dan identitasnya, kayak tanaman tanpa tanah.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.