“Katanya kita menjalankan prinsip keterwakilan rakyat, tapi kenapa wakil-wakil kita tak pernah membela kepentingan rakyat. Disuruh menyusun undang-undang memiskinkan maling uang rakyat, mbulet terus. Sampai dicurigai banyak yang terlibat. Disuruh membuat undang-undang menghukum mati maling uang rakyat, dari dulu belum berani. Kan nggak cocok sama sila Pancasila?”
Oleh : Abdur Rozaq
Sejak pagi buta, di depan warung Cak Sueb sudah berdiri bendera merah putih setengah tiang. Mahmud Wicaksono pelanggan, eh pengutang pertama, sempat bertanya-tanya dalam benaknya. Ini hari Lahir Pancasila, kok malah mengibarkan bendera setengah tiang? Tapi sebagai penghutang, Mahmud Wicaksono tahu diri. Tak berani lancang tanya-tanya. Barangkali agak siangan sedikit ada yang mempertanyakan, ada yang menyanggah, mendebat, mengaku sebagai pakar, menjadi buzzer. Dan si pakar abal-abal mendapat traktiran kopi dan ketan koya karena diundang “podcast” di warung.
Mungkin karena tirakatnya menjadi sarjana melarat mulai diijabah, tebakan Mahmud Wicaksono itu tiba-tiba terbukti. Gus Karimun, Cak Paijo LSM dan Wak Takrip yang datang hampir bersamaan, setelah memesan kopi, srabi, ketan koya dan cenil, langsung ramai-ramai bertanya apa maksud Cak Sueb mengibarkan bendera setengah tiang di hari besar kenegaraan.
“Cak, ini hari Lahir Pancasila, kok sampeyan malah mengibarkan bendera setengah tiang? Sampeyan mau makar ta? Mau mendirikan negara di dalam negara? Mau mengingkari pemerintah yang sah dan mengganti Pancasila dengan ideologi lain?” Cerocos Cak Paijo LSM, seperti saat menakut-nakuti kades yang tertangkap basah menyewa LC dengan dana desa.
Tak disangka, Gus Karimun yang selalu kalem dan pemaaf, tiba-tiba nyeletuk agak pedas “kalau sudah tak cinta, ya jangan menghina.”
Cak Sueb buru-buru duduk di lincak dekat Gus Karimun untuk menjelaskan maksudnya. “Begini, gus. Saya memang agak protes, terutama tehadap saya sendiri, atau siapa pun yang tidak serius kepada pancasila,” ujar Cak Sueb.
“Kalau soal keabsahan Pancasila, seperti yang njenengan sampaikan di pengajian dulu, dari sila perama hingga butir-butir Pancasila, kan sudah ada dalilnya dalam Al Qur’an dan Hadits? Dan ketika saya renungkan, memang semua sila pancasila itu ya ajaran Islam. Hanya saja….”
“Hanya saja kenapa, cak?” sambar Cak Paijo LSM.
“Hanya saja, Pancasila seakan tinggal patung garudanya saja, cak. Katanya kita berkeTuhanan Yang Maha Esa, kok dalam mencari makan, berpolitik, berpikir bahkan berpendapat, kita lebih mirip atheis, agnostik bahkan penganut fir’aunisme, mengaku Tuhan. Ini kan palsu?”
“Katanya berkemanusiaan yang adil dan beradab, tapi kenapa banyak sekali ketidak adilan. Maling uang negara triliunan rupiah, hukumannya hanya dua hingga lima tahun. Sementara guru yang menjewer murid agar lebih beradab, bisa lebih lama hukumannya. Guru honorer dibayar 150.000 perbulan tugasnya tak jarang lebih berat dari guru yang punya nomor induk pekerja pemerintah. Pelaku UMKM seperti saya, Mas Mahmud Wicaksono dan Cak Soleh tukang las, tidak mendapat bantuan, sementara buruh yang gajinya dibawah 3 juta setengah, malah mendapat bantuan. Iki piye konsep e?”
“Katanya kita bersatu dengan prinsip Persatuan Indonesia, lha sekarang banyak konten kreator yang membuat konten-konten sampah kita biarkan saja. Para buzzer dan SDM rendah saling hujat, menghina negara sendiri, orang-orang kalah pemilu yang terus bikin gaduh, kenapa belum ditangkap juga? Sebaiknya tak usah memperdulikan hak asasi untuk pelaku adu domba perpecahan bangsa. Paling tidak, izinkan rakyat main hakim sendiri kepada para provokator.” Baru kali ini orang-orang tahu jika Cak Sueb bisa marah juga.
“Katanya kita menjalankan prinsip keterwakilan rakyat, tapi kenapa wakil-wakil kita tak pernah membela kepentingan rakyat. Disuruh menyusun undang-undang memiskinkan maling uang rakyat, mbulet terus. Sampai dicurigai banyak yang terlibat. Disuruh membuat undang-undang menghukum mati maling uang rakyat, dari dulu belum berani. Kan nggak cocok sama sila Pancasila?”
“Katanya kita berkeadilan sosial? Lha kok keadilan hanya untuk orang dalam, untuk pendana kampanye, partai pendukung, hanya untuk keluarga dan kroni. Paling jauh untuk tim sukses. Keadilan hanya untuk yang bayar, pemilik ormas atau teman nyabu.”
“Makanya, sengaja saya kibarkan bendera setengah tiang saat hari Lahir Pancasila, ya sebagai sindiran buat kita semua.”
Hampir semua orang di warung akhirnya terdiam dan merenung masing-masing. Mungkin saling menuding, cari kambing hitam siapa yang salah. Tapi bukankah jika dirunut secara benar, semua kerusakan di suatu negara kan bermula dari kerusakan rakyatnya?
Hanya fiksi semata, jika ada kesamaan narasi di dunia nyata, hanya kebetulan semata.