Jejak Air Suci di Madakaripura: Menyelami Makna Mendak Tirta Suku Tengger

15

Di tengah lanskap berkabut Madakaripura, ketika pagi menggeliat perlahan di balik tebing basah, langkah-langkah kaki menyusuri tanah lembab. Mereka datang bukan untuk menaklukkan alam, tapi menyatu dengannya.

Oleh: Sundari Adi Wardhana, Probolinggo

Air terjun itu jatuh tanpa jeda dari ketinggian nyaris 200 meter. Suaranya menggema seperti kidung kuno yang tak pernah usai. Di kaki air terjun, sejumlah warga berdiri dalam keheningan.

Tangan mereka menangkup. Mata mereka tertuju ke bawah, ke tanah yang dilumuri percik-percik air. Di hadapan mereka, kendi tanah liat diisi pelan-pelan dengan air yang mereka anggap sebagai tirta, air suci dari alam semesta.

Itulah Mendak Tirta, prosesi pengambilan air suci yang dijalani masyarakat Hindu Suku Tengger menjelang perayaan Yadnya Kasada, salah satu upacara spiritual paling penting di kawasan Gunung Bromo.

Air dari Madakaripura ini dipercaya mengandung energi pembersih dan menjadi salah satu dari empat sumber utama dalam rangkaian Kasada. Tiga lainnya berasal dari Watuk Klosot (Lumajang), Widodaren (Bromo), dan Rondo Kuning (Ranupani).

Hari itu, Minggu (8/6/2025), puluhan warga dari Desa Ngadirejo, Ngadisari, Sariwani, Jetak, dan desa lain di lereng Bromo datang ke Madakaripura. Mereka berpakaian adat lengkap—udeng, jarit, dan selendang putih. Di punggung mereka tergantung bungkusan berisi sesaji: bunga, hasil bumi, dupa, dan beras.

Prosesi dipimpin oleh para dukun adat, pemangku spiritual yang mewarisi ajaran turun-temurun. Setelah doa dan persembahan dilakukan, air suci diambil dari sumber yang tersembunyi di balik jatuhan air utama. Kendi-kendi diisi perlahan, nyaris seperti ritus batin yang sakral.

“Mendak Tirta bukan hanya ritual, tapi cara kami menjaga hubungan dengan alam dan leluhur,” ujar Sisto, dukun adat dari Desa Ngadirejo. “Air ini bukan sekadar cairan. Ia adalah pesan dari alam.”

Air yang dikumpulkan dari empat sumber itu akan dibawa ke Pura Luhur Poten, di Lautan Pasir Bromo. Di sana, air disatukan untuk menyucikan pratima (simbol-simbol dewa), sekaligus menjadi bagian dari rangkaian Yadnya Kasada, di mana masyarakat memberikan persembahan ke kawah Gunung Bromo sebagai bentuk syukur dan permohonan keselamatan.

Madakaripura bukan sekadar lokasi upacara. Dalam keyakinan masyarakat Tengger, tempat ini diyakini sebagai tempat pertapaan terakhir Patih Gajah Mada, tokoh legendaris dari Kerajaan Majapahit. Di sinilah sang patih konon mengucapkan sumpah tak akan pulang sebelum menyatukan Nusantara.

“Tempat ini suci bukan karena sejarah tertulis, tapi karena telah diwariskan lewat laku hidup,” kata Bambang Suprapto, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo.

Di sekitar lokasi, tebing-tebing hijau berdiri menjulang, air terjun menetes dari celah bebatuan seperti tangis alam yang abadi. Dalam lanskap seperti itu, batas antara mitos dan kenyataan menjadi kabur.

Menggelar ritual seperti ini di era digital bukan perkara mudah. Jalan menuju Madakaripura terjal dan licin. Beberapa peserta, termasuk anak-anak muda, tampak kelelahan. Namun semangat mereka tak surut. Di mata mereka, tradisi ini bukan beban sejarah, tapi bagian dari identitas yang perlu dirawat.

“Kami ingin generasi muda mengenal dan mencintai budaya sendiri,” ujar Anang Budiono, Kepala Desa Ngadirejo. “Kalau bukan mereka, siapa lagi yang akan meneruskan?”

Pemerintah desa, aparat keamanan, dan tokoh adat bekerja sama menjaga kelancaran prosesi. Aparat Polsek Sukapura dan Koramil 0820/08 turut serta mengawal perjalanan, tidak hanya sebagai pengaman, tetapi juga sebagai saksi hidup dari peradaban yang terus bertahan.

“Ini bukan hanya tentang menjaga keamanan,” kata AKP Ardhi Bita Kumala, Kapolsek Sukapura. “Tapi juga menjaga jati diri sebuah budaya.”

Bagi masyarakat Tengger, air bukan sekadar kebutuhan fisik. Ia adalah medium spiritual yang menjembatani dunia manusia dengan semesta. Air yang dibawa dari Madakaripura diyakini mengandung kekuatan penyucian, bukan hanya untuk benda, tapi untuk hati.

“Air itu mengalir, seperti doa. Ia tak memaksa, tapi menyusup pelan-pelan ke dalam hidup kita,” kata Serka Widodo, anggota Koramil yang turut serta mengawal prosesi. “Mendak Tirta bukan soal agama semata. Ia tentang menghormati kehidupan.”

Di tengah zaman yang bergerak cepat, upacara ini menjadi semacam penyeimbang. Sebuah pengingat bahwa di balik kemajuan, ada nilai-nilai purba yang tetap relevan: rasa hormat, kesadaran ekologis, dan kepercayaan pada siklus alam.

Mendak Tirta adalah tentang merawat yang tak kasatmata. Tentang menghormati yang tak lagi bersuara. Tentang memastikan bahwa di tengah kabut dan deras air, masih ada manusia yang bersedia mendengarkan bisikan alam.

Dan di Madakaripura, tempat air jatuh tanpa jeda, warisan itu terus mengalir. Tanpa henti. Seperti kehidupan, seperti doa, seperti harapan yang disematkan di setiap tetes air suci.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.