Horor Buwuhan Jumat Pon-Minggu Kliwon

0

“Bulan musim buwuhan, memang harus sabar, cak,” timpal Gus Karimun. “Selain fenomena jalan umum jadi terop hajatan, musim juga fenomena mengarak pengantin dengan konvoi sepeda motor pakai blayer-blayer knalpot sekaligus menyalakan petasan. Apalagi kalau pengantinnya anggota perguruan silat.

Oleh : Abdur Rozaq

Pada hari-hari biasa, nasib Mahmud Wicaksono mirip Ukraina yang dikaploki Rusia tanpa henti. Namun begitu masuk bulan Besar, Mahmud Wicksono makin porak poranda seperti jalur Gaza yang terus dipersekusi Israel, tanpa ada yang berani membantu. Bedanya, jika Ukraina dan Palestina diserang oleh bom, Mahmud Wicaksono hancur lebur oleh invasi buwuhan dan wisuda-wisudaan anaknya yang lulus SD.

Secara nasional, atau setidaknya regional, memang banyak warga yang sambat dengan horornya teror buwuhan pada hari Jumat Pon dan Minggu Kliwon. Banyak yang menuduh, ini ulah “kurang bijak” para dukun dan wong pinter, yang menyarankan menggelar hajatan pada dua hari keramat itu. Secara hitungan pasaran, kedua hari itu memang baik untuk menggelar hajatan. Dengan izin Gusti Allah, insya Allah para undangan akan hadir, meski harus mancari utangan. Bahkan konon, menagih hutang di hari Jumat Pon dan Minggu Kliwon, biasanya akan dibayar. Tapi, apakah buwuhan termasuk hutang?

Di warung Cak Sueb, kelakar para peminum kopi juga seputar invasi buwuhan. “Mbo yo kalau hajatan jangan keroyokan begitu,” kelakar Wak Takrip. “Masa sehari tiga sampai empat terop. Kalau diundang sekalian suami istri, berarti harus menyiapkan enam sampai delapan amplop buwuhan. Bisa dodol wedus nanti.”

“Saya sampai dodol gelang istri, wak. Ya bagaimana lagi, wong sudah umpangan. Mau nggak buwuh ya isin,” timpal Cak Soleh tukang las.

“Kita juga harus waspada. Biasanya kalau buwuhan sudah merajalela begini, begal, jambret dan copet makin gawat,” sambung Cak Soleh tukang las.

“Selain mempersiapkan uang untuk buwuh, kita juga harus mempersiapkan kesabaran ekstra,” timpal Cak Paijo LSM. “Siap-siap jalan umum diblokade oleh terop, atau arak-arakan orang hajatan. Kita ini memang bangsa yang sangat baik. Demi kepentingan satu keluarga, ratusan pengguna jalan yang hendak berangkat kerja bahkan mengantar anak ke rumah sakit, harus ngalah sama orang hajatan. Kalau kemantennya diarak drum band, reog atau bantengan, kemacetan makin panjang. Dan kita legowo demi meriahnya pesta pernikahan pengantin yang tak jarang hamil duluan.”

“Bulan musim buwuhan, memang harus sabar, cak,” timpal Gus Karimun. “Selain fenomena jalan umum jadi terop hajatan, musim juga fenomena mengarak pengantin dengan konvoi sepeda motor pakai blayer-blayer knalpot sekaligus menyalakan petasan. Apalagi kalau pengantinnya anggota perguruan silat. Tukang sound systemnya juga tahu kalau masyarakat penakut, eh pemaaf. Jadi tak sungkan check sound horeg jam satu dini hari. Besoknya, digeber musik DJ sehari semalam. Tukang sound husnudhan jika warga sekitar tak ada yang sakit gigi atau sakit jantung.”

“Zaman sekarang kok gini ya, gus?”

“Karena sekarang zaman demokrasi. Orang berhak berbuat apa saja, dan kalau sampeyan protes, bisa melanggar pasal tindakan tidak menyenangkan,” kelakar Gus Karimun.

“Sesekali kalau ada orang hajatan arogan gitu perlu dikerjai, gus. Kita mandikan kucing atau merendam keris pada banyu leri, biar hujan petir sekalian.”

“Hush! Ya nggak ilok, Cak Paijo.”

Sementara Mahmud Wicaksono, hanya diam melamun. Akal ndablegnya bahkan sudah tak mampu memikirkan cara untuk mencari utangan. Teror buwuhan sudah di luar kendalinya, sementara itu, istrinya sudah meng-SP 3 bahwa anaknya harus segera membayar biaya wisuda-wisudaan kelulusan SD. Tak habis pikir, konon pemerintah sudah melarang seremonial wisuda-wisudaan selain bagi para lulusan sarjana. Tapi kenapa anaknya masih diwajibkan mengikuti prosesi wisuda-wisudaan? Apakah demi foto-foto semata, agar bisa diunggah di media sosial istrinya? Apakah acara wisuda-wisudaan yang sudah diubah istilahnya itu ada unsur bisnisnya? Entahlah, Mahmud Wicaksono tak boleh buruk sangka.

Seingat Mahmud Wicaksono, sejak beberapa tahun lalu sudah ada Dana BOS dan berbagai dana bantuan pendidikan. Namun entah kenapa, anak si sarjana tukang cukur itu tetap saja membayar berbagai macam iuran pendidikan. Tapi, Mahmud Wicaksono tak boleh buruk sangka.

Konon, di Inggris, anak-anak sekolah sudah gratis 100 persen sejak abad 17 lalu. Konon, di Singapura dan Malaysia yang kualitas pendidikannya jauh lebih baik, biaya pendidikan ditanggung negara. Tapi Mahmud Wicaksono hanya berani bergumam dalam hati. Nanti kalau ngomong di warung, takut dianggap sebagai wali murid pemuja gratisan. Meski ia membeli sebatang rokok eceran saja sudah terkena pajak, ia tak ingin ambil resiko. Wacana masyarakat sudah sepakat jika sekolah harus bayar. Semakin mahal bayarnya, semakin berkualitas. Konon begitu. Mahmud Wicaksono juga takut kuwalat jika mempertanyakan hal-hal aneh soal biaya pendidikan anaknya. Makanya, meski seisi warung gusar oleh invasi buwuhan, ia sudah tak mampu untuk sekedar sambat.

*Hanya fiksi semata, jika ada kesamaan peristiwa, hanya kebetulan

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.