Probolinggo (WartaBromo.com) – Awan gelap menyelimuti masa depan ribuan petani tembakau di Kabupaten Probolinggo. Setelah pemerintah pusat resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024
Kebijakan ini memicu kekhawatiran mendalam di sentra-sentra produksi tembakau, termasuk Probolinggo yang menjadi penghasil terbesar kedua di Jawa Timur.
Bupati Probolinggo, Mohammad Haris, menyatakan bahwa implementasi PP 28/2024 berpotensi menimbulkan efek domino terhadap perekonomian lokal.
Dengan ribuan hektar lahan tembakau dan puluhan ribu pelaku usaha di dalamnya, regulasi baru ini dikhawatirkan memperlemah ketahanan ekonomi berbasis agraris.
“PP ini bukan hanya soal aturan, tapi menyangkut hidup petani dan roda ekonomi kami,” tegas Haris, Kamis (19/6/2025).
Data dari Dinas Pertanian mencatat, luas tanam tembakau di Probolinggo pada 2024 mencapai 9.172 hektar, dan diprediksi melonjak menjadi 11.524 hektar di tahun berikutnya. Dengan produktivitas rata-rata 1,2 ton per hektar, produksi tembakau diperkirakan menembus 13.800 ton.
Namun, tingginya produksi ini tidak menjamin kesejahteraan, jika kebijakan pusat menggerus sektor hilir. Termasuk industri rokok dan penyerapan hasil tani.
Yang lebih mencemaskan, penerapan PP 28/2024 disebut berpotensi memotong alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT)—salah satu tulang punggung pembiayaan layanan publik di daerah.
Pada 2024, Pemkab Probolinggo menerima Rp21,7 miliar dari DBHCHT. Dana ini digunakan untuk BLT bagi 17.912 warga. Termasuk buruh tani tembakau, pekerja industri rokok, anak yatim, dan penyandang disabilitas.
“Dana ini dipakai untuk pendidikan, kesehatan, hingga bantuan sosial. Kalau berkurang, siapa yang menjamin kebutuhan dasar masyarakat?” tanya Haris.
Kekhawatiran serupa disuarakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Ia menegaskan bahwa kebijakan yang menyasar sektor tembakau harus dirancang hati-hati, mengingat Jawa Timur merupakan kontributor utama penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) nasional.
“Jika CHT ditekan atau dinaikkan sepihak, efeknya bisa sangat berat bagi petani dan buruh,” ujarnya.
Khofifah bahkan telah menandatangani Komitmen Bersama dengan serikat pekerja yang menolak kenaikan CHT tahun 2026 dan mendorong revisi terhadap pasal-pasal krusial di PP 28/2024.
Menanggapi situasi ini, Haris mendesak agar pemerintah pusat melibatkan daerah dalam setiap tahapan implementasi regulasi. Ia menegaskan, Pemkab tidak tinggal diam dan tengah menyiapkan langkah mitigasi.
“Kami akan berjuang agar petani tidak jadi korban. Sektor ini terlalu penting untuk dibiarkan begitu saja,” pungkasnya. (saw)