Sebenarnya saya kangen dengan mereka. Tapi ketika ngobrol saat cangkruk, saya kok hanya tolah-toleh tak paham. Lha mana saya nyambung, wong yang dibahas seputar proyek, dana hibah, bagi-bagi kuota panwas, pendamping desa, timses, lowongan jadi asisten dewan. Lha apa saya tidak minder?
Oleh: Abdur Rozaq*
Di lapak cukur rambunya yang mengenaskan, Mahmud Wicaksonon menjamu seorang kawan lama. Seorang sahabat dari masa silam, saat ia malang melintang di dunia persilatan. Sejenak Mahmud Wicaksono menerawang. Menatap lapak cukur rambutnya yang doyong dan hampir roboh, ambrol ke sungai. Sekelebat terbayang bagaimana ganasnya Mahmud Wicaksono saat itu. Baku pukul dengan aparat karena dihalangi masuk ke kantor bupati saat demo, menduduki kantor dewan, mengacau rapat paripurna DPRD karena dianggap kurang pro rakyat, ngamuk di berbagai instansi yang menurutnya lamban bahkan mempersulit pelayanan. Beberapa kali ia juga pernah ribut dengan pegawai berseragam penerima gaji jumat kliwon, yang difotonya karena ngopi saat jam kerja. Dan banyak lagi kisah bagaimana ugal-ugalannya Mahmud Wicaksono di masa lalu.
Sejenak, Mahmud Wicaksono tersenyum kecut karena teringat barangkali ia pernah murtad. Saat itu, saat ia malang melintang di dunia persilatan, sembahyang hampir tak pernah ia lakukan. Teologi yang ia kaji di pesantren, seakan dibantah oleh pemikiran-pemikiran Friederich Nietzsche. Hingga kini ia heran, bagaimana kitab Ihya Ulumuddin bisa ia bandingkan dengan Ecce Homo saat itu.
Salah satu alasan ia telat kawin dan tidak diterima melamar ke kerja oleh pembatasan usia, karena ia terlena dengan liar sekaligus gemerlapnya dunia persilatan. Ia memang tak ikut-ikutan mereguk pesta moh limo apalagi menikmati fenomena perseliran saat itu. Namun obsesi gelapnya untuk menjadi semacam Che Guevara sekaligus Chairil Anwar, membuatnya tak jadi apa-apa hingga kini. Ia salah pilih ajian kesaktian untuk didalami, ia terlalu naif dan polos, hingga tak bernasib seperti para sahabatanya yang kini banyak menjadi punggawa.
Sahabat lama itu, adalah sahabat seperjuangan saat Mahmud Wicaksono menempa diri di padepokan PMII.
“Cak, kenapa sih sampeyan memilih jalan ini? Kenapa tidak merapat kepada sahabat-sahabat kita, barangkali ada yang bisa memberi modal atau mengajak sampeyan proyekan,” celetuk sang sahabat tanpa sungkan. Di masa lalu, mereka memang terbiasa kenyang dan lapar bersama. Terbiasa sembunyi dari pantauan intel karena merancang demontrasi.
“Apa menjadi tukang cukur rambut itu hina?” balas Mahmud Wicaksono tersenyum lebar.
“Ya bukan gitu, cak. Melihat sampeyan di masa lalu, saya kok eman. Andai sampeyan nyaleg atau setidaknya jadi kades, kan program desa lebih inovatif. Dan kami bisa mencarikan proyek atau semacamnya buat sampeyan,” ujar sang sahabat.
“Saya juga pernah kepikiran ke sana. Tapi apa iya? Apa saya tidak pragmatis juga kalau terpilih jadi dewan atau kepala desa? Soal pendana kan ada sampeyan dan kawan-kawan. Tapi saya masih kurang percaya dengan diri saya sendiri. Dengan sisi kemanusiaan saya sendiri.”
“Sebagai mantan aktivis, kalau tasawuf kita jadikan patokan, ya kalah terus cak. Sampeyan kan tahu dunia politik itu bagaimana, mosok mau zuhud-zuhudan?”
“Nah, justru di situlah yang membuat saya maju mundur, bahkan mengasingkan diri seperti ini. Saya renung-renungkan, kita menempa diri di PMII, ternyata tujuan akhirnya hanya satu opsi, politik. Sayangnya, kita kalah dengan kawan-kawan di organisasi pengkaderan lainnya. Kita belum bisa mengendalikan politik nasional, padahal kurang apa sahabat-sahabat kita. Sejak dulu hingga kini, paling mentok kita menjadi anggota dewan lokal. Belum bisa memegang kendali politik nasional.”
“Lho, kan sudah banyak sahabat-sahabat kita yang sudah menjadi menteri?”
“Ya, jadi menteri, tapi akhirnya dibidik KPK, entah dikriminalisasi oleh lawan ideologi kita, atau benar-benar bersalah,” jawab Mahmud Wicakono. Tak disangka, tukang cukur itu ternyata mantan anggota orgnisasi elit yang cukup diperhitungkan di masanya.
“Ayolah cak, kita kumpul-kumpul lagi sama sahabat-sahabat IKA PMII. Barangkali ide-ide gila sampeyan bisa kita aplikasikan di sana. Setidaknya urun rembuk dan ngopi-ngopi seperti dulu.”
“Sebenarnya saya kangen dengan mereka. Tapi ketika ngobrol saat cangkruk, saya kok hanya tolah-toleh tak paham. Lha mana saya nyambung, wong yang dibahas seputar proyek, dana hibah, bagi-bagi kuota panwas, pendamping desa, timses, lowongan jadi asisten dewan. Lha apa saya tidak minder? Apa kalbu saya tidak bergejolak? Saya rindu obrolan tentang advokasi, somasi kebijakan publik, penguatan nasionalisme atau setidaknya bakti sosial,” ujar Mahmud Wicaksono.
“Sudah bukan alamnya, cak. Lagi pula, idealisme saja tidak cukup untuk bertahan hidup. Dulu di PMII kita belajar dengan keras, kini di IKA PMII kita menikmati hasilnya,” ujar sang sahabat. Mahmud Wicaksono terperangah. Tak menyangka ucapan itu akan keluar dari lisan sahabatnya yang dulu sangat vokal dan anti kemapanan.
“Memangnya, saat ini, apa masih ada orang yang benar-benar idealis? Memangnya masih ada orang yang meletakkan nasionalisme di atas kepentingan pribadi?” Gugat sang sahabat.
“Tidak ada. Setidaknya jarang,” jawab Mahmud Wicaksono lemas.
“Kalau kita idealis seorang diri, apa kita tak semakin kalah? Apa tak akan menjadi penonton saja?”
“Benar juga,” balas Mahmud Wicaksono. “Tapi, kalau semua orang pragmatis, seberapa lama NKRI ini bisa bertahan? Keadaan sudah sangat gawat lho, cak. Geopolitik dunia makin membara, dan para intelijen asing sudah terang-terangan, kalau kita IKA PMII santai-santai saja, disintegrasi kapan saja bisa terjadi.”
“Sudah lah cak, kita sudah tua, jangan terlalu paranoid. Bangsa ini sudah ada yang mengurus,” ujar sang sahabat tanpa beban.
“Siapa? Siapa yang masih benar-benar peduli dengan bangsa dan ideologi kebangsaan kita?”
“Entahlah, yang jelas pasti masih ada,” kata sang sahabat, nampak ragu.
“Saya hanya bisa berbuat sedikit melalui tulisan dan konten-konten saya, seharusnya sampeyan dan sahabat-sahabat di atas sana yang bisa berbuat banyak,” ujar Mahmud Wicaksono penuh harap.
“Makanya, ayo ngopi sama sahabat-sahabat IKA PMII. Kita sedang Muscab IKA PMII.”
“Saya pasti datang, sebagai penggembira atau setidaknya reuni,” ujar Mahmud Wicaksono menerawang jauh.
*Penulis mantan pengurus cabang PMII dan IKA PMII
**Hanya fiksi semata, jika ada kesamaan nama dan peristiwa, hanya kebetulan semata