Probolinggo (WartaBromo.com) – Pemerintah Kabupaten Probolinggo resmi mengajukan Rancangan Perubahan APBD (P-APBD) Tahun 2025.
Di permukaan, ini terlihat sebagai rutinitas tahunan. Tapi bila dicermati lebih dalam, ada hal menarik yang patut dicurigai: pendapatan daerah justru dipangkas, sementara belanja malah dinaikkan.
Dalam Rapat Paripurna DPRD Jumat (11/7/2025), Bupati dr. Mohammad Haris menyampaikan nota penjelasan yang memuat rincian perubahan.
Pendapatan daerah direvisi turun dari Rp2,46 triliun menjadi Rp2,43 triliun (turun Rp29 miliar). Tapi di saat bersamaan, belanja daerah naik dari Rp2,59 triliun menjadi Rp2,6 triliun (naik Rp18 miliar).
Pertanyaannya: dari mana tambahan belanja ini ditutup, saat pendapatan justru melemah?
Dalam dokumen yang dibacakan Bupati, tambahan belanja ini disokong dari pembiayaan daerah yang naik drastis: dari Rp125 miliar menjadi Rp173 miliar—bertambah Rp48 miliar. Pembiayaan ini disebut berasal dari SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu).
Artinya, Pemkab menambal belanja dari “uang sisa” tahun lalu. Praktik ini sah secara aturan, tapi mengundang tanya: mengapa sisa anggaran sebelumnya tak digunakan maksimal di tahun berjalan?
Belanja Naik, Program Rakyat atau Proyek Elit?
Kenaikan belanja semestinya menjadi kabar baik bagi masyarakat. Namun hingga kini, rincian sektor mana yang mendapat tambahan belum dipublikasikan secara terbuka.
Tidak jelas pula apakah dana itu diarahkan untuk layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, atau malah tersedot ke proyek fisik bernilai besar.
Publik berhak tahu, kemana larinya uang mereka. Tanpa keterbukaan, perubahan APBD hanya akan menjadi angka-angka di atas kertas yang minim dampak nyata.
Akankah DPRD Kritis atau Sekadar Formalitas?
Agenda P-APBD ini akan berlanjut ke tahapan: pemandangan umum fraksi, jawaban eksekutif, hingga pendapat akhir.
Tapi sejarah politik anggaran menunjukkan, jarang sekali fraksi-fraksi DPRD menolak atau mengoreksi secara signifikan usulan eksekutif.
Mayoritas justru menyetujui dengan catatan, yang seringkali hanya bersifat administratif. Padahal, di sinilah seharusnya fungsi pengawasan anggaran dijalankan secara tajam.
Perubahan APBD bukan sekadar penyesuaian teknis, melainkan keputusan politik yang berdampak langsung pada pembangunan dan pelayanan publik.
Saat pendapatan turun tapi belanja naik, alarm kewaspadaan harus dibunyikan. Sebab, bisa jadi ini celah yang disiapkan untuk menggelontorkan anggaran kepada pos-pos tidak produktif.
Transparansi dan partisipasi publik menjadi penting agar APBD benar-benar berpihak pada warga, bukan sekadar proyek elite. (saw)