Balada Bendera ‘Kartun’ Bajak Laut

35

Kita buat tumbal pesugihan saja. Ambil fotonya, lalu dibawa ke tempat-tempat wingit. Kita jadikan tumbal jual musuh. Lumayan, koruptornya modar, rakyat dapat kekayaan.”

Oleh : Abdurrozaq

Mahmud Wicaksono geleng-geleng kepala dengan ulah netizen di negaranya. Terutama di aplikasi media sosial kesukaan emak-emak. Setiap kali membuka media sosial yang sering disebut sarang monyet itu, Mahmud Wicaksono lebih sering marah daripada terhibur. Penyebabnya, di situs itu lebih sering beredar postingan provokatif, bahkan cenderung memberontak negara daripada postingan edukatif. Jangankan mengedukasi, menghibur saja tidak.

Mahmud Wicaksono sampai misuh-misuh karena menjelang bulan Agustus tahun ini, banyak postingan menolak mengibarkan bendera Merah Putih. Tiba-tiba viral ajakan untuk mengibarkan bendera One Piece, bendera film ainmasi bajak laut. Dalam narasinya, para netizen itu berkilah sedang memprotes berbagai kebijakan yang kurang pro rakyat. Bahkan, di beberapa propinsi, orang malah mengibarkan bendera separatisme mereka masing-masing.

“Ini sudah makar!” Mahmud Wicaksono sampai menggebrak meja warung. Kopi utangan yang masih banyak dalam gelas, tumpah.

“Ini sudah pemberontakan terhadap negara!” Tambah tukang cukur itu.

“Ada apa, cak?” Tanya Gus Karimun lembut.

“Ini gus, di media sosial ramai seruan enggan mengibarkan bendera Merah Putih. Ada yang mengibarkan bendera film kartun, para sopir menolak memasang bendera Merah Putih di mobilnya, bahkan di beberapa propinsi malah mengibarkan bendera separatisme,” jelas Mahmud Wicaksono seraya memberikan HP nya kepada Gus Karimun.

“Ini keterluan, tapi pasti ada penyebabnya,” gumam Gus Karimun dengan wajah memerah.

“Mungkin rakyat sudah jengah karena koruptor tetap dibiarkan. Apalagi ada isu pemblokiran rekening nganggur dan perampasan tanah tidak terurus,” celetuk Cak Paijo LSM.

“Tapi ya jangan sampai begini, cak. Lama-lama negara ini bubar kalau setiap orang bodoh bersuara lantang. Buyut kita dulu sampai bermandi darah memperjuangkan setiap jengkal tanah dari para penjajah. Dulu, para santri sampai ditembak penjajah Belanda karena merobek warna biru di bendera panjajah Belanda di hotel Yamato. Anak-anak sekarang malah seenaknya menghina negara, membandingkan tanah sorga ini dengan negara lain. Bahkan ada yang terang-terangan ingin lepas dari negara ini.”

“Kita kan memang sudah geram dengan dagelan para politisi? Undang-undang perampasan aset koruptor tidak berani disahkan, tapi undang-undang yang mencekik rakyat kecil sat set disahkan. Tiba-tiba ada wacana memblokir rekening nganggur, tiba-tiba ada rencana merampas tanah tak terurus, pedagang online sampai amplop hajatan mau dikenai pajak. Lha kekayaan negara yang berlimpah itu kemana? Apa dibiarkan terus dirampok para koruptor yang tak pernah kenyang itu?” Cak Paijo LSM akhirnya juga ikut terpancing amarahnya.

“Benar! Kita memang geram dengan semua degelan para politisi yang memuakkan itu. Tapi kan, tidak semua politisi berniat tidak baik kepada kita? Masih ada kok politisi yang punya hati nurani. Lagi pula, kenapa marahnya kepada negara, bukan pada para oknum malingnya?”

“Lha kita mana bisa menghukum para koruptor yang terhormat itu? Mereka orang-orang kuat, pintar dan punya segalanya. Mana bisa rakyat kecil seperti kita menghukum mereka?” perdebatan semakin sengit.

“Ya kita mulai dari koruptor-koruptor kelas teri di sekitar kita saja. Kita buat api unggun di rumah kepala desa yang mengkorupsi dana desa, kita beri salam olahraga orangnya sampai klenger seperti para begal motor. Kalau yang melakukan massa dan semua orang pura-pura tidak tahu, bisa jadi aman.”

“Tidak mungkin, orang sekarang sukanya merekam video lalu disebarkan ke media sosial,” kilah Cak Paijo LSM.

“Itulah naifnya kita. Semua orang sok wartawan, semua orang sudah main media sosial, tapi SDM kita belum tinggi juga.”

“Sebenarnya ada cara aman untuk mengerjai koruptor,” celetuk Wak Takrip.

“Bagaimana, wak?”

“Kita buat tumbal pesugihan saja. Ambil fotonya, lalu dibawa ke tempat-tempat wingit. Kita jadikan tumbal jual musuh. Lumayan, koruptornya modar, rakyat dapat kekayaan.” Gus Karimun geleng-geleng kepala mendengar omongan Wak Takrip. Ini indikasi betapa geramnya rakyat pada maling uang negara.

“Ajakan pengibaran bendera film kartun ini sudah bahaya, lho. Apalagi kalau sampai menolak mengibarkan bendera Merah Putih. Mengkritik ketimpangan kok yang jadi sasaran negara. Kenapa sih, semakin hari kok makin banyak orang yang membenci negara sendiri? Kenapa tak bisa membedakan oknum dengan eksistensi negara?” Suara Gus Karimun bergetar. Kiai muda itu memang penyabar, tapi kalau soal negara, soal nasionalisme, orang takkan mampu berdiri melihat kemarahannya.

“Negara ini sudah darurat, lho. Nasionalisme anak sekarang sangat diragukan. Dulu ramai mengajak kabur dari Indonesia, sekarang menolak mengibarkan sang saka Merah Putih. Apa mereka keturunan mata-mata penjajah dan anggota partai komunis kok tidak punya nasionalisme sama sekali?”

“Memang, ada banyak maling dan penghianat di negeri ini. Tapi alih-alih ikut memberantas, bocah sekarang malah merongrong kedaulatan negara. Kalau bisa ditangkap itu. Masa bendera negara dibuat main-main!?” Semua orang berkali-kali meminum kopi atau sedal-sedal udut untuk menenangkan diri dari murka Gus Karimun.

*Hanya fiksi, jika ada kesamaan nama dan peristiwa hanya kebetulan semata

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.