“Cak, perang itu mahal. Jangankan perang, wong negara aman saja laepnya bukan main seperti ini. Kalau rudal-rudal jatuh di pasar, di warung, di lapak cukur, makin banyak pengangguran. Apalagi orang kita kan selalu telat mengantisipasi masalah. Apa-apa serba pakai birokrasi mbulet, harus pakai orang dalam.
Oleh : Abdur Rozaq
Jelang ulang tahun ke 80 negara Wak Takrip, makin kompleks saja kuwalat, eh ujian negara itu. Mulai dari budaya percolongan yang kian masif, terstruktur, menyeluruh, membudaya, dan kreatif, rakyat rupanya mulai hilang kesabaran. Rakyat ramai-ramai mulai kehilangan rasa nasionalisme karena selalu dibohongi, dimanfaatkan bahkan dikorbankan. Kini, malah negara tetangga kembali mencari gara-gara.
Blok Ambalat yang secara historis dan geografis sah milik negara Wak Takrip, kembali diklaim sebagai milik mereka. Padahal, masih terhitung beberapa hari presiden negara Wak Takrip mengalah, mengadakan kesepakatan pengelolaan sumber daya alam bersama-sama dan hasilnya sigar semongko, kini mereka malah ngelunjak, meminta pemerintahnya mengklaim jika Ambalat milik mereka secara penuh.
Para netizen pengguna akun palsu yang bebas bersumpah serapah dan berkomentar paling tidak berahlakul karimah, ramai-ramai menyerukan perang terbuka. Banyak yang memprovokasi pemerintah negara Wak Takrip untuk membidik negara seluas propinsi itu dengan rudal yang baru dibeli dari Turki. Ada yang berteriak ingin gelut massal dengan rakyat negeri Upin Ipin yang memang ngregetno itu.
Ya, netizen memang “maha benar” dan mereka bebas mengetik apa saja di kolom komentar. Bahkan mereka yang tak punya skill perang sarung pun, bisa sok jago. Mereka yang malas gerak, hanya menghabiskan usia dengan scroll-scroll HP dan tidak pernah memegang bedil, ngotot memprovokasi perang. Mungkin, mereka membayangkan perang itu semudah main game Free Fire. Tinggal membidik, sembunyi dan jika tertembak dan game over, tinggal main lagi dari awal.
“Kalau menurut sampeyan, sebaiknya kita berdiplomasi dengan Malaysia atau perang, cak?” Tanya Cak Paijo LSM kepada Mahmud Wicaksono seraya menuang kopi pada lepekan.
“Sebaiknya ya diplomasi dulu seperti langkah presiden kemarin. Perang hanya opsi terakhir dan pilihan paling buruk,” ujar Mahmud Wicaksono seraya mengambil rokok milik Cak Paijo LSM.
“Tapi Malaysia sudah ngelunjak, lho. Selalu cari gara-gara seakan kita takut pada mereka. Sesekali kita rudal biar mereka tahu rasa hormat. Dengan kekuatan negara kita, saya kira dua minggu sudah selesai mereka.” Ujar Cak Paijo tanpa rasa bersalah.
“Lho-lho, perang tak sesederhana itu, cak. Kalau cuma membereskan Malaysia sih mudah, tapi aliansi mereka itu, apalagi para provokator internasional dan para pedagang senjata, tentu takkan tinggal diam. Kita ngurusi ormas preman dan pesilat saja belum beres, menertibkan pemberontak di Papua saja belum tuntas, kok malah mau cari penyakit,” kata Mahmud Wicaksono seraya mensabotase kopi Wak Takrip.
“Ini masalah harga diri, cak. Masa negara dan bangsa sebesar kita mau diam saja dibully negara seluas propinsi? Kita ini bangsa pejuang, AWS Mallaby saja kita sate, masa sama Upin Ipin yang tak punya ahlak harus takut?”
“Malaysia itu anak pungutnya Inggris. Dan meski Inggris sudah jadi dhuafa karena diplonco Amerika untuk membiayai perang Ukraina, mereka masih solid dengan geng preman pasarnya. Bagaimana kalau tiba-tiba geng Aukus mengirimkan kapal induk nuklirnya?”
“Kita kan punya konco plek Wak Jin Ping, Wak Putin, Kiai Ali Khamenei dan Pak Lik Ergogan? Mereka pasti takkan tinggal diam,” kata Cak Paijo tanpa merasa berdosa.
“Halah pret. Kemarin Kiai Ali Khamenei dikamplengi Wak Netanyahu dan Wak Trump saja, Wak Jin Ping dan Wak Putin hanya mesam-mesem penuh arti. Kita jangan terlalu berharap pada orang agar tak kecewa.”
“Masa sudah berkali-kali dibully anak kemarin sore kita diam saja? Sesekali kita kaplok biar tahu adab. Lebih baik putih tulang daripada putih mata.”
“Cak, perang itu mahal. Jangankan perang, wong negara aman saja laepnya bukan main seperti ini. Kalau rudal-rudal jatuh di pasar, di warung, di lapak cukur, makin banyak pengangguran. Apalagi orang kita kan selalu telat mengantisipasi masalah. Apa-apa serba pakai birokrasi mbulet, harus pakai orang dalam. Dalam keadaan perang, saya khawatir evakuasi warga sipil harus ditanyakan dulu apa partai dan ideologinya. Jangan-jangan, bantuan pangan bagi para pengungsi dikorupsi atau disalurkan kepada para familinya saja. Kan ruwet?”
“Apalagi…” lanjut Mahmud Wicaksono. “Nasionalisme orang kita sudah setipis tisu. Jangankan ikut perang membantu TNI, diajak kerja bakti dan mengibarkan bendera merah putih saja ogah. Bisa jadi, para koruptor yang sudah banyak hasil colongannya akan mengungsi ke Korea, operasi plastik dan nonton konser K-Pop di sana. Atau ngelencer ke Italia sambil belanja tas Louis Vuitton KW biar bisa dipamerkan di media sosial.”
“Jadi, bagaimana cara kita membalas perlakuan Malaysia yang naudzu billah itu?”
“Kita mobilisasi sound horeg ke perbatasan sana. Kita putar lagu DJ keras-keras seperti Wak Kim Jong Un saat protes pada Korea Selatan.”
*Hanya fiksi semata, kesamaan nama dan peristiwa hanya kebetulan