Probolinggo (WartaBromo.com) – Dari kejauhan, lereng Bromo tampak diselimuti kabut tipis pagi itu.
Namun di Desa Jetak, Kecamatan Sukapura, riuh langkah dan denting gamelan menandai dimulainya Hari Raya Karo 1947 Saka, Sabtu (9/8/2025).
Bagi warga Tengger, Karo bukan sekadar pesta adat. Ia adalah penanda lahirnya peradaban manusia dan kehidupan berpasangan, diwariskan dari leluhur dan dijaga melalui ritual yang sarat simbol.
Tiga desa terlibat dalam perayaan ini. Jetak menjadi kemanten putri sekaligus tuan rumah, Ngadisari sebagai kemanten putra, dan Wonotoro berperan sebagai saksi.
Puncaknya adalah Tari Sodoran — tarian sakral yang dibawakan dua penari pria dengan tongkat bambu.
Gerakannya menggambarkan tekad kaum lelaki menjaga keseimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Namun ada aturan yang membuatnya kian unik: perempuan dilarang mengikuti prosesi sebelum pukul 12.00 WIB. Mereka menunggu di luar arena.
Baru masuk setelah tengah hari sambil membawa rantang berisi makanan untuk suami atau ayah yang terlibat ritual. Santapan itu lebih dulu didoakan, lalu dimakan bersama.
“Tari Sodoran punya 25 tahapan prosesi, lengkap dengan sesaji yang melukiskan perjalanan hidup manusia. Mulai kelahiran, pernikahan, hingga menjadi orang tua,” kata Ngantoro, Kepala Desa Jetak.
Ia menegaskan, tradisi ini adalah pelajaran sejarah bagi generasi muda tentang akar budaya mereka.
Bupati Probolinggo, Gus dr. Mohammad Haris, hadir bersama sejumlah pejabat daerah.
Dalam sambutannya, ia menegaskan komitmen mengembangkan pariwisata berbasis budaya di Bromo.
Tradisi seperti Karo, Sodoran, Kasada, hingga unan-unan akan masuk kalender resmi pariwisata.
“Bromo bukan hanya indah dipandang. Ia adalah rumah bagi adat istiadat yang kaya makna. Budaya ini harus dirawat agar tidak hilang ditelan zaman,” ujarnya.
Haris berharap wisatawan tak hanya datang untuk panorama, tapi juga menyelami kearifan lokal.
“Dengan begitu, mereka akan pulang dengan pengalaman yang lebih utuh dan autentik,” katanya.
Di penghujung acara, suara gamelan kembali mengalun.
Aroma dupa bercampur dengan udara pegunungan, mengantar para perempuan yang akhirnya bergabung di tengah lapangan.
Hari Raya Karo pun mencapai puncaknya, menyatukan doa, tradisi, dan kebanggaan. (saw)