Pertiwi, Kadang Aku Lelah Mencintaimu

5

Andai tidak dilarang agama, ingin rasanya saya rapalkan ajian panglimunan agar bisa menghilang. Saya satroni rumah-rumah para koruptor dan siapa saja yang berniat buruk pada negara ini. Ingin rasanya saya sembelih mereka satu persatu seperti buyut-buyut kita menyembelih Belanda, Jepang dan PKI

Oleh : Abdur Rozaq

Hingga larut malam dan orang-orang melekan malam tujuh belasan sudah bergelimpangan di lincak warung Cak Sueb, kini tinggal Gus Karimun dan Mahmud Wicaksono yang masih jandoman. Mungkin karena hanya tinggal mereka berdua, obrolan kian mesra, kian mendalam dan banyak sandi-sandi rahasia yang kurang layak didengar khalayak. Dua orang sahabat yang lebih tepatnya guru-santri itu, kini duduk berhadap-hadapan. Membicarakan obrolan serius yang sangat berbahaya. Jika sampai disadap orang, kecurigaan orang terhadap Mahmud Wicaksono akan kian menjadi. Selama ini, ada desas-desus jika sebenarnya Mahmud Wicaksono adalah anggota BIN yang menyamar menjadi tukang cukur. Orang curiga karena meski pelanggannya sangat sepi, Mahmud Wicaksono bisa tetap bertahan hidup. Ada yang lebih ekstrim, mencurigai tukang cukur itu sebagai bocah angon yang bisa jadi, kelak akan menjadi pengawal satrio piningit yang akan membawa negara Wak Takrip pada kejayaan.

Sisa nasi tumpeng beralas daun pisang, porak poranda seperti hutan Kalimantan digerus tambang ilegal. Carut marut di pinggir jalan, di bantaran sungai, di atas lincak warung, tumpang tindih seperti kebijakan penguasa yang buru-buru ditetapkan, lalu dibatalkan ketika viral atau didemo. Sisa nasi, sisa tulang, tandas seperti kekayaan negara yang dibadok para koruptor dan keluarganya.

“Tak terasa, sudah 80 tahun kita merdeka,” gumam Mahmud Wicaksono seraya bersendawa samar. Ia tak terbiasa makan terlalu kenyang. Namun saat mayoran tadi, ia trance, ikut terbawa orang-orang yang makan dengan kesetanan. Seakan nasi tumpeng ala kadarnya di hadapan mereka, adalah para koruptor yang senyum-senyum penuh kemenangan di depan kamera wartawan.

“Bukan, bukan 80 tahun kita merdeka. Kita merdeka hanya dua tahun kurang beberapa bulan, saat Gus Dur jadi presiden,” ujar Gus Karimun, membuat Mahmud Wicaksono tersentak.

“Iya, kalau dipikir-pikir benar juga, gus,” ujar Mahmud Wicaksono seraya menenggak sisa kopi dan mengambil sebatang rokok di hadapan Gus Karimun.

“Selain Pak Karno dan Gus Dur, lebih pantasnya kan disebut penguasa, bukan pemimpin. Kita lepas dari penjajahan ke penjajahan lainnya. Hanya beda gaya dan masanya. Kadang pemimpin tertingginya pura-pura santun, tapi para punggawanya, para ksatrinya lebih galak daripada tentara Nazi.” Sekali lagi Mahmud Wicaksono tersentak mendengar ucapan Gus Karimun. Bertahun-tahun, sejak turun temurun, Gus Karimun dan para leluhurnya adalah para nasionalis yang cinta mati pada negaranya. Kenapa, justru di malam kemerdekaan ini Gus Karimun berkata demikian? Bahkan, Mahmud Wicaksono juga menjadi nasionalis sekaligus sangat benci terhadap segela bentuk makar, adalah berkat didikan Gus Karimun. Mengapa Gus Karimun malah berkata demikian? Apakah sebenarnya Gus Karimun agen ganda, kiriman Mossad atau CIA yang bergerak dalam penyamaran yang sempurna?

“Saat ini, saya mulai lelah, mas. Lelah sekali. Selama ini saya mati-matian membela negara, meng-counter narasi pemecah belah bangsa, ngedem-ngedemi masyarakat, kini malah para penguasa makin ngawur. Makin tak manusiawi memaksakan keputusan sepihak, demi agar tak terlihat bodoh mengendalikan wewenangnya. Pemblokiran rekening, guyon perampasan tanah, menaikkan pajak PBB, royalti musik, pajak amplop buwuhan, pajak ini-itu, tepat saat rakyat sekarat oleh krisis keuangan parah.” Mahmud Wicaksono sedikit lega karena sudah tahu alasan Gus Karimun mulai berubah.

“Jika para penguasa titipan atau yang diangkat atas nama balas jasa itu tetap ngawur, saya khawatir, jangan-jangan rakyat marah lalu mengobarkan revolusi dan negara ini hancur. Tololnya, mereka tak pernah khawatir celah itu akan dimanfaatkan asing. Apa karena hasil korupsinya sudah menumpuk, jadi kalau negara ini terbakar mereka akan lari keluar negeri?”

“Makin mencurigakan, kenapa UU perampasan aset dan hukuman mati koruptor tak berani disahkan, apa karena mereka semua takut terjerat?”

“Semalam buyut panglima Soedirman meminta saya mengingatkan penguasa agar jangan semena-mena, jangan bikin pemaksaan keputusan, setelah gaduh baru dicabut. Takutnya para syuhada hilang kesabaran dan bangsa ini kuwalat. Meski bukan siapa-siapa, saya akan mengirim somasi kepada para penguasa itu demi menggugurkan amanat. Tapi pasti, pasti saya ditertawakan karena dianggap mengada-ada.”

“Kali ini saya sudah lelah tirakat. Sudah berpuluh-puluh tahun ngelakoni ilmu pengasihan agar rakyat tetap cinta negara dan patuh pada penguasa. Tapi jika begini caranya, kesabaran saya bisa habis dan membiarkan rakyat membalas dendam kepada para penguasa yang semena-mena. Andai tidak dilarang agama, ingin rasanya saya rapalkan ajian panglimunan agar bisa menghilang. Saya satroni rumah-rumah para koruptor dan siapa saja yang berniat buruk pada negara ini. Ingin rasanya saya sembelih mereka satu persatu seperti buyut-buyut kita menyembelih Belanda, Jepang dan PKI.” Tatapan Gus Karimun nanar.

Gus Katimun tiba-tiba berdiri dan tergesa melepas sandalnya. Di atas tanah tanpa paving proyek dana desa dan beratap langit jelang subuh, Gus Karimun gedruk lemah tiga kali dan dengan lantang berkata “niat ingsun amatek aji gedruk bumi. Sopo sopo sing niat olo marang nuswantoro, ajur saknaliko. Ajur! Ajur! Ajur! Kullu nafsin dzaiqatul maut!”

*Hanya fiksi semata, jika ada kesamaan nama dan peristiwa hanya kebetulan

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.