“Kok bisa ya, saat rakyat hampir sekarat begini, para penguasa di awang-awang sana bisa sekeji itu?”
Oleh : Abdur Rozaq
Kehancuran negara Wak Takrip, sepertinya sudah tak lama lagi. Di saat orang asing mati-matian menyuntikkan racun perpecahan, kaum intoleran ingin melakukan kudeta atas nama iman, dan para buzzer menghembuskan adu domba tiada henti di berbagai media sosial, para penguasa malah semakin ngawur. Apakah para penguasa itu tak pernah membuka media sosial, tak tahu jika di propinsi paling barat dan paling timur, bahkan beberapa propinsi sudah terang-terangan ingin kudeta karena merasa dijadikan sapi perah? Apakah para penguasa itu sudah merasa punya cukup banyak curian, sehingga jika negara Wak Takrip hancur, mereka bisa minggat ke luar negeri?
Beberapa hari ini, Mahmud Wicaksono semakin rajin misuh-misuh. Ekonomi makin sulit, pelanggan cukur rambutnya sama sekali mampet. Sementara istrinya, semakin rajin purik karena uang belanja sama sekali tak ada. Di sisi lain, harga-harga naik tanpa perasaan. Itu mungkin efek dari penguasa yang tak punya solusi menutupi kekurangan pendapatan, selain menggunakan cara preman: memalak kaum jelata.
Sekarang, apa-apa bisa dijadikan alat untuk memalak. Retribusi tanah dan bangunan, retribusi kendaraan bermotor, orang memutar lagu, orang jualan online, amplop buwuhan, pokoknya dicari-cari celah untuk mendapatkan penghasilan yang sama sekali tidak kreatif. Lha kekayaan tanah sorga yang begitu berlimpah itu kemana? Bukankah tanah sorga Wak Takrip memiliki apa saja yang tak dimiliki orang lain? Apakah karunia Gusti Allah itu dicuri oleh segelintir orang, lalu ditimbun di sebuah tempat di antah berantah?
Manmud Wicaksono, dulunya seorang nasionalis sejati. Di mana pun, ia selalu gembar-gembor soal nasionalisme. Debat kusir di warung, berkomentar di media sosial, dalam konten-konten di beberapa channel Youtube-nya yang selalu sepi penonton. Bahkan saat mencukur pelanggan, ia mengkampanyekan nasionalisme. Beberapa pelanggannya yang pro kudeta, terutama mereka yang termakan doktrin kaum radikal kanan, ia debat dengan sengit. Beberapa orang sampai berhenti menjadi pelanggan cukur rambut di lapak Mahmud Wicaksono karena hal itu. Jadi bisa disimpulkan, salah satu penyebab sepinya pelanggan Mahmud Wicaksono karena ia sangat nasionalis.
Kini, Mahmud Wicaksono patah hati. Cintanya dikhianati. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Buyut-buyutnya yang syahid saat mengusir para penjajah, seakan percuma telah berkorban nyawa. Para penguasa makin beringas. Orang-orang pintar di negara Wak Takrip, menggunakan kepintaran mereka untuk mengada-ngada aturan, mengamankan aksi permalingan mereka tetap aman, mengada-ngada aturan, agar aksi permalingan tidak dihukum berat. Sehingga para maling yang tertangkap pun, meski nyolong hingga miliaran, hanya dihukum beberapa tahun. Dibuat juga aturan tak tertulis agar saat pura-pura dipenjara, para maling itu bebas berkeliaran, bisa mendapat suplai narkoba bahkan suplai LC. Sebagai antisipasi lebih mapan, dibuat aturan-aturan horor agar rakyat jelata sama sekali tak berani menegakkan hukum rimba kepada para maling elit. Semarah apapun, rakyat jelata takkan cari perkara untuk njotosi para maling elit sebagaimana mereka njotosi maling ayam.
Organisasi para maling, menggunakan kecerdikan mereka untuk merancang aturan-aturan aneh yang membuat aksi permalingan tetap aman. Sejak lama rakyat jelata menginginkan legalitas hukuman mati kepada para maling elit, tapi tak pernah digubris. Ada yang curiga, asosiasi para maling tentu saja takkan menggali kuburnya sendiri dengan membuat aturan seperti itu.
Gus Karimun yang sangat sabar dan pemaaf pun, akhir-akhir ini juga nampak gusar. Berkali-kali kiai muda itu keheranan.
“Kok bisa ya, saat rakyat hampir sekarat begini, para penguasa di awang-awang sana bisa sekeji itu?” Gumamnya suatu malam.
“Badai pengangguran melanda, ekonomi seret, mereka malah tanpa teposeliro menaikkan berbagai retribusi. Kok bisa ya?” Ujar Gus Karimun geleng-geleng kepala.
“Negara Wak Takrip diujung tanduk perpecahan, eh para penguasa malah memaksakan berbagai keputusan nggateli, kok bisa ya?” Mahmud Wicaksono juga geleng-geleng kepala.
Lalu, beberapa hari kemudian, media sosial digemparkan oleh viralnya video kawanan tikus berjoget-joget kesetanan, eh kegirangan. Entah video deep fake hasil rekayasa AI, entah video asli, yang jelas membuat rakyat jelata merasa terhina, dendam, diplokoto dan sakit hati tak terperi. Saat mereka hidup serba kekurangan, berbagai retribusi begitu mencekik, eh malah viral video kawanan tikus merayakan kemenangan karena aksi akal-akalan mereka dilegalkan. Atas nama aturan sah.
“Ya salah kita sendiri…” kata Gus Karimun membuat semua orang terkejut. Kok bisa? Wong mereka sudah sangat patuh menjalankan aturan kejelatannya, kok masih dituduh bersalah?
“Jika suatu kaum tak mengindahkan aturan Tuhan, maka Tuhan akan menguji mereka, salah satunya dengan mengirim para penguasa yang naudzu billah min dzalik. Jadi ya, tidak usah sambat. Kalau kita ingin segera terbebas dari penjajahan mereka, ya mari belajar mentaati aturan Tuhan.”
“Apalagi, setiap pemilu kan kita selalu berburu amplop serangan fajar. Ya, marilah kita nikmati hasilnya. He he he he…”
*Hanya fiksi semata, kesamaan narasi, nama dan peristiwa hanya ilutrasi dan kebetulan