Dari Panggung ke Lapangan: Kontroversi Alih Fungsi Gedung Kesenian Probolinggo

13

Probolinggo (WartaBromo.com) – Gedung Kesenian di Jalan Suroyo, Kecamatan Tisnonegaran, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, sebentar lagi tinggal kenangan.

Panggung tempat para seniman menyalakan lampu, memainkan gamelan, hingga mementaskan teater, akan dibongkar. Diganti dua lapangan tenis indoor yang rapi berlantai cat hijau.

Keputusan itu datang dari Pemkot Probolinggo. Anggaran Rp200 juta sudah disiapkan lewat Perubahan APBD 2025 untuk merenovasi gedung.

“Karena dulunya memang lapangan tenis, gedung itu harus direhab dulu sebelum dikembalikan ke fungsi semula,” ujar Fajar Purnomo, Sekretaris Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Dispopar).

Sejak 2013, bangunan di utara Museum Probolinggo itu berubah wajah menjadi Gedung Kesenian.

Kala itu, di era Wali Kota HM Buchori, para seniman mendapat ruang baru.

Panggung kecil itu kemudian jadi saksi lahirnya berbagai kegiatan budaya.

Kini, panggung itu justru akan diturunkan. Dinding dicat ulang. Lantai dilapisi sesuai standar lapangan tenis.

Aset juga sudah ditukar: pengelolaan Gedung Kesenian pindah ke Dispopar.

Sementara Kampung Seni di Jalan Hayam Wuruk—yang berada di samping kolam renang TRA—diserahkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Seniman Terpinggirkan
Kabar pengalihan fungsi gedung sontak membuat para pegiat seni meradang.

Peni Priyono, Ketua Dewan Kesenian Kota Probolinggo (DKKPro), merasa ditinggalkan.

“Kami tidak pernah diajak bicara. Tiba-tiba saja sudah dibahas di DPRD. Terus, Dewan Kesenian dianggap apa di kota ini?” katanya, dengan nada kesal.

Peni bercerita, Gedung Kesenian itu selama ini dipakai banyak sanggar seni. Setiap tahun, DKKPro selalu mengajukan izin resmi.

“Kami tidak minta uang. Kami hanya butuh tempat. Minimal ruang berkesenian yang layak,” ujarnya.

Bagi Peni, masalah ini bukan sekadar hilangnya gedung. Ia mempertanyakan konsep tata ruang kota.

“Seharusnya Jalan Suroyo dipertahankan sebagai kawasan budaya, karena di sana ada museum. Kalau olahraga, letaknya di TRA, satu kawasan dengan kolam renang, tenis, dan biliar,” tuturnya.

Pemerintah memang menawarkan Kampung Seni sebagai pengganti. Tapi bagi seniman, itu tak cukup.

“Probolinggo tidak punya gedung pertunjukan representatif yang disediakan pemerintah. Yang ada justru milik swasta,” kata Peni.

DKKPro kini hanya bisa menunggu komunikasi resmi. Peni sadar, mereka bukan pemilik kuasa.

“Kalau pemerintah pakai kekuasaannya, kami bisa apa? Uang saja kami tidak punya. Tapi seharusnya, kebijakan publik dibuat dengan diskusi. Bukan sepihak,” ia menutup percakapan.

Panggung itu mungkin akan segera hilang. Tapi suara seniman, setidaknya, masih bergema. (saw)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.